Showing posts with label interreligious dialogue. Show all posts
Showing posts with label interreligious dialogue. Show all posts

Tuesday, February 16, 2010

Gus Dur, Sahabat Allah dan Sahabat Manusia

Oleh: Valeria Martano *)

ABDURRAHMAN WAHID yang lebih akrab dipanggil Gus Dur menerima saya di kantornya, di lantai dasar gedung baru Nadhlatul Ulama (NU) di Jalam Kramat Raya, jalan yang selalu padat dengan lalu lintas Jakarta. Dia menerima saya dengan penuh senyum sebagai seorang sahabat yang telah lama saling kenal. Persahabatan kami sudah sekitar duapuluhan tahun. Kami bertemu pada tahun 1990, ketika setelah pertemuan para pemuka agama-agama dunia di Assisi, kami dari Komunitas Sant’Egidio menjelajahi Asia untuk bertemu para tokoh agama-agama yang berkeinginan untuk meneruskan semangat perdamaian yang telah dimulai di Assisi.

Gus Dur sejak awal tahun 80-an sudah menjadi pemimpin NU, organisasi Islam terbesar di seluruh dunia dengan sekitar 40 juta pengikut. Salah satu hal yang pertama-tama dijelaskannya kepada saya adalah mengenai Anggaran Dasar NU, yang sudah ada sebelum berdirinya negara Indonesia. Pengaruh NU, seperti halnya pengaruh organisasi keagamaan yang lain, merambah luas mempengaruhi struktur organisasi masyarakat Indonesia, struktur pendidikan (dengan pondok-pondok pesantren), struktur penanganan kesehatan masyarakat dan struktur pemerintahan di desa-desa.

Sudah sejak awal jaman Suharto, Gus Dur merupakan satu-satunya ‘suara bebas’ di negeri ini, yang dengan lantang membela yang kecil dengan menyuarakan keadilan dan demokrasi. Saya menemuinya setiap kali saya datang ke Indonesia, dua-tiga kali setahun. Rumahnya selalu terbuka.

Bagi saya, yang mulai mengenal dunia kompleks Indonesia, Gus Dur merupakan seorang guru. Dia mengajari saya banyak hal mengenai negara yang besar ini: budayanya, agama-agamanya. Dia telah memberikan kunci untuk pemahaman langkah-langkah sejarah penting dari negeri ini, beserta perjalanannya yang penuh ketegangan sebagai tempat percampuran etnik, budaya dan agama, dan yang dalam waktu yang sangat singkat telah melalui perubahan yang menakjubkan baik secara ekonomi maupun politik. Dalam perjalanan waktu, persahabatan kami semakin diperdalam. Beberapa kali Gus Dur mengunjungi Komunitas Sant’Egidio induk di Roma, di mana dia merasakan seperti di rumah sendiri, sampai-sampai dia selalu menggunakannya sebagai tempat konferensi persnya di Italia, baik sebelum maupun setelah menjadi presiden. Gus Dur sangat terkesan dengan apa yang dilakukan Komunitas Sant’Egidio untuk perdamaian. Setiap kali saya bertemu dengannya, dia pasti menanyakan kabar Andrea Riccardi, pendiri komunitas kami. “Kita butuh orang-orang seperti Andrea Riccardi”, demikian kalimat yang selalu diulang-ulanginya. Beberapa kali Gus Dur berpartisipasi dalam Doa untuk Perdamaian yang diprakarsai oleh Komunitas Sant’Egidio, seperti yang pernah dihadirinya di Barcelona dan di Roma. Juga dia berpartisipasi aktif dalam pertemuan dialog antara pemuka-pemuka Islam dan para wakil agama-agama sedunia.

Setelah menjadi presiden pun, dia tetap selalu menjadi sahabat yang dekat dengan kami. Ia menjadi presiden selama kurang dari dua tahun. Kendati kesehatannya tidak selalu baik, hal ini tidaklah menjadi halangan baginya untuk bekerja secara penuh bagi rakyatnya. Ia telah memimpin bangsa Indonesia pada masa-masa yang sangat rumit, dan berhasil menjamin transisi demokratis dengan mewujudkan reformasi hal-hal mendasar, yang dirasakan buahnya dengan berjalannya waktu. Pemerintahannya berakhir di tengah berbagai kesulitan, namun Gus Dur bukanlah tipe orang yang mudah putus asa. Dia terus menjadi pemimpin keagamaan, pemimipin moral dan suara penuh kebebasan yang membela mereka yang lemah. Setiap kali agama dijadikan alasan untuk tindak kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, Gus Dur selalu berpihak pada mereka yang menjadi korban. Umat Kristiani tahu betul hal ini dan bersatu dengannya.



Ketika Komunitas Sant’Egidio mulai mengumpulkan tandatangan untuk meminta penangguhan segala eksekusi hukuman mati dengan sasaran untuk mencapai penghapusan penuh hukuman mati, Gus Dur termasuk di antara yang pertama menandatangani. Kita juga tidak lupa akan usahanya untuk menyelamatkan nyawa Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, yang dieksekusi 22 September 2006.

Gus Dur adalah juga seorang pribadi yang percaya teguh akan kekuatan doa. Saya masih ingat benar. Suatu hari Gus Dur mengikuti pertemuan kecil dengan orang-orang yang datang ke tempatnya pagi-pagi benar untuk meminta nasehat dan bantuan. Dengan masing-masing, Gus Dur menjalin percakapan yang sangat personal dan berbeda-beda. Kepada seorang ibu, dia memberikan uang untuk membayar sewa rumah. Kepada seorang ibu lagi yang datang lebih kemudian dengan permintaan yang kurang lebih sama, Gus Dur menyuruh orang itu menulis sebuah doa di atas kertas karton dan menyuruhnya membaca ulang sebelas kali tiap hari. “Hanya ini?” tanya ibu itu dengan penuh harapan akan mendapatkan bantuan material. Saat itulah, untuk yang pertama kalinya serta yang terakhir kalinya, saya mendengar Gus Dur menjawab dengan kata-kata yang tajam: “Ibu, kalau ibu tidak percaya dengan kekuatan doa, mengapa datang ke sini? Berdoalah dengan penuh kepercayaan, dan situasinya akan teratasi!”

Masih banyak hal yang bisa diceritakan mengenai pribadi yang dengan kesederhanaannya telah mengubah perjalanan sejarah bangsanya, dengan meletakkan pada tempat pertama dialog, saling pemahaman di antara para penganut agama yang berbeda-beda dan perjuangan untuk perdamaian. Saya senang mengingatnya sebagai sahabat Allah dan sahabat manusia.

*) Penulis adalah Koordinator Komunitas Sant'Egidio induk di Roma untuk Komunitas-komunitas Sant'Egidio di wilayah Asia Timur. Teks asli dalam bahasa Italia, alih bahasa dan editing oleh Petrus Puspobinatmo, SJ. Artikel ini dimuat di Majalah HIDUP, 14 Pebruari 2010, hlm. 41.

Thursday, May 7, 2009

Shalom Aleichem - Shalawat Global

Shalom Aleichem - Shalawat Global

Hebrew and Arabic mixed on medley (sholawat) by Kiai Kanjeng.
Property of Progress Yogyakarta, Indonesia.

http://www.padhangmbulan.com/
http://www.kiaikanjeng.com/

Shalom aleichem (or sholom aleichem) is a greeting version in Hebrew, literally meaning "Peace be upon you." The appropriate response is "Aleichem shalom," or "Upon you be peace."

This form of greeting was traditional among the Ashkenazi Jews communities of Eastern Europe. However, it is very similar to the Arabic-language greeting used by many Muslims throughout the world, assalamu alaikum. The Christian Maltese phrase, sliem ghalikom is cognate with both Arabic and Hebrew equivalents. The greeting is used in plural - so as to greet multiple people - even when greeting a lone individual. One religious explanation for this is that one greets both a body and a soul. But it ought to be noted that many plural Hebrew words are used in reference to something singular.
Shalom could be also interpreted as "The Peace": a peace personally felt, a deep calmness and mental balance, which is said to come to those who appreciate God.

Friday night Shabbat welcoming song.
Shalom Aleichem is also a traditional song sung Friday night at the beginning of Shabbat, the Jewish Sabbath. In this case the words are used to welcome in the angels who accompany a person home on the eve of the Sabbath. It can be sung with many different melodies, but it is always sung with great happiness and joy.

According to the Ashkenazi tradition, the song in Hebrew language transliteration is as follows:

Shalom aleichem malachei ha-shareis malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.

Bo'achem le-shalom malachei ha-shalom malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.

Barchuni le-shalom malachei ha-shalom malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.

Tzeis'chem le-shalom malachei ha-shalom malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.


The words to the song translate:
Peace upon you, ministering angels, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.

Come in peace, messengers of peace, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.

Bless me with peace, messengers of peace, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.

May your departure be in peace, messengers of peace, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.


Melodies:
The slow well-known melody for the song was composed by the American Rabbi Israel Goldfarb in May, 1918 while sitting near the Alma Mater statue in front Low Memorial Libraryat Columbia University. Goldfarb's work is often presumed to be a traditional Hasidic melody. He wrote in 1963, "The popularity of the melody traveled not only throughout this country but throughout the world, so that many people came to believe that the song was handed down from Mt. Sinai by Moses."


Friday, March 6, 2009

Bhineka Tunggal Ika – Manguak keharmonisan dalam keberagaman di Indonesia


Konferensi yang berjudul Unity in Diversity: The Culture of Coexistence in Indonesia (Kesatuan dalam Keberagaman: Budaya Hidup Bersama di Indonesia) telah menampilkan Indonesia sebagai model hidup bersama secara harmonis dalam keragaman budaya dan agama.
Konferensi ini diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri Italia dalam kerjasama dengan Komunitas Sant’Egidio pada hari Rabo 4 Maret 2009 di Gedung Kementerian Luar Negeri Italia, Roma.
“Indonesia telah menjadi referensi untuk kehidupan bersama antar budaya dan agama dan dipandang sebagai jembatan antara Barat dan dunia Islam di Timur Jauh,” demikian ungkap Menlu Italia Franco Frattini saat membuka konferensi bersama dengan Menlu Indonesia Hassan Wirajuda.
Hadir sebagai pembicara dari Indonesia antara lain Ketua Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, Bactiar Effendi dan Azyumardi Azra, keduanya dari UIN Jakarta, Siti Musdah Mulia dari ICRP, Sekjen WALUBI Philip K. Wijaya dan Ketua KWI Mgr. Martinus D. Situmorang OFMCap. Sedang dari pihak Italia, tampil sebagai pembicara antara lain Andrea Riccardi, dosen sejarah kontemporer di Universitas Roma Tre dan pendiri Komunitas Sant’Egidio, dan Mgr. Vincenzo Paglia, Ketua Komisi Dialog dan Ekumenis Konferensi Para Uskup Italia.
Konferensi yang terbagi dalam dua sessi ini pertama membahas tema “Kristiani dan Islam untuk budaya hidup bersama”. Pada sessi kedua dibahas tema “Masyarakat Sipil, Islam dan Kehidupan bersama”
Frattini memuji usaha Indonesia sebagai negara multi kultural dan multi agama yang mendasarkan prinsip kenegaraannya pada Bhinekka Tunggal Ika. “Indonesia dalam sejarahnya telah menghasilkan model Islam yang khas, terbuka dan toleran, Islam alternatif, yang sangat dihargai dan pantas lebih dikenal di Barat,” lanjut Frattini.
Andrea Riccardi memandang Indonesia sebagai laboratorium hidup bersama. Pendiri Komunitas Sant’Egidio ini mengungkapkan perlunya visi untuk bisa membangun identitas diri di dunia yang makin majemuk ini. “Persis di hadapan tantangan global ini, Indonesia menawarkan visi peradaban hidup bersama di antara keberagaman,” tegas Riccardi.
Indonesia memiliki kekayaan keberagaman budaya dengan toleransi dan tradisi spiritualitas yang kuat. Islam di Indonesia sangat terkait dengan tradisi sufisme. Hidup bersama dalam kesatuan yang harmonis bukan berarti menanggalkan identitas iman, melainkan justru menuntut masing-masing semakin mendalam dalam identitas budaya dan agamanya. “Toleransi adalah bagian dari Islam,” demikian ungkap Hasyim Muzadi. “Konflik yang kadang muncul biasanya disebabkan oleh hal-hal yang pada dasarnya bukan langsung menyangkut agama atau iman,” tambah Muzadi.
Keberagaman budaya dan agama di Indonesia menjadi suatu kesempatan baik untuk membangun hidup bersama. Riccardi mengungkapkan bahwa mereka yang tergoda untuk menjadi puritan dan menginginkan homogen, sering kali bertindak demikian karena rasa ketakutan. Mengacu kepada Mahatma Gandhi, Riccardi menambahkan bahwa pembebasan yang sejati adalah tidak adanya rasa takut.
Mgr. Vincenzo Paglia mengungkapkan bahwa kesadaran baru setelah Konsili Vatikan II akan kesatuan rencana Allah untuk seluruh umat manusia menjadi landasan kuat bagi umat Katolik untuk menjunjung tinggi kehidupan bersama yang harmonis.
Sementara itu Mgr. Martinus Situmorang mengingatkan bahwa agama bisa menjadi pemersatu, namun juga bisa diperalat untuk memecah-belah masyarakat. Karenanya Situmorang mengingatkan bahwa “para pemimpin agama adalah kunci dalam usaha membangun kehidupan bersama yang harmonis di antara elemen masyarakat yang berbera-beda dan untuk memperkuat dialog antar mereka.” Ditambahkannya bahwa “ajaran para pemimpin agama harus diarahkan kepada nilai dan tujuan sejati dari agama-agama.” ***

[Artikel ini secara lebih singkat dimuat dalam majalah HIDUP, 29 Maret 2009, hlm. 30]

Untuk berita di media silahkan kunjungi:
Komunitas Sant'Egidio
DetikNews: (1), (2).
The Jakarta Post: (1), (2), (3), (4).
Untuk pendalaman mengenai tema ini, silahkah simak lebih lanjut: (1), (2), (3).


Sunday, February 1, 2009

Christianity, Buddhism and the Jesuits of East Asia

Area: Thailand – Indonesia.

Fr. Petrus Puspobinatmo, S.J.


Petrus is an Indonesian Jesuit who is scheduled to work in Thailand. He was born in 1968 in Muntilan in Central Java, and entered the Society of Jesus in 1988. After his novitiate in Girisonta in Central Java and Philosophy in Jakarta he did his regency in Thailand. During his regency he assisted in pastoral work at the University student chaplaincy, and here he assisted at many work camps where several Buddhist students participated. Later he started his theology at Gregorian University and was ordained a priest in the year 2000. Right now he is pursuing his doctoral research at the Institute of Spirituality in Gregorian University, and he is working on the topic of Comparative Spirituality. The title of his dissertation is Ignatian Spirituality meets Buddhist Wisdom: Human Maturation as an Integral part of Spiritual Progress. A Case Study in Thailand. Petrus has decided to work on the method of spiritual progress taught by ACARIYA MUN BHURIDATTA THERA (1870-1949), the founder of the Forest Tradition of Theravada Buddhism in Thailand.

Petrus is now at Gregorian University in Rome. He may be contacted at the following address:

Collegio S. Roberto Bellarmino
Via del Seminario 120
00186 Rome
Italy


Telephone: +39-06-695276642
Fax: +39-06-695 276 562
E-mail: puspobinatmo@unigre.it

URL: http://pweb.sophia.ac.jp/jesuit45/

DIALOGO SPIRITUALE *

di Petrus Puspobinatmo, S.J. – Istituto di Spiritualità, PUG – Roma


Il contesto: perché dialogo spirituale?


Vengo dall’Indonesia, un paese della maggioranza musulmana. E lavorerò in Tailandia, un paese della maggioranza buddista. In Asia, dovunque andiamo troviamo la gente di diverse grandi tradizioni religiose: Islam (in Indonesia, Malesia), Cristianesimo (nelle Filippine), Buddismo (in Sri Lanka, Tailandia, Myanmar, Cambogia, Vietnam), Indù (in India), Confucianismo, Taoismo, e diverse credenze religiose indigene, ecc. Viviamo in mezzo a loro. Ed è il motivo per prendere sul serio l’incontro con loro, per considerare la ricchezza delle loro tradizioni spirituali e per dare testimonianza viva della nostra spiritualità. Resto appassionato dall’incontro con la tradizione buddista della scuola Theravada in Tailandia e la sua spiritualità. Devo aggiungere subito, però, una nota: quando parliamo di spiritualità in questo contesto dobbiamo capirla nel senso molto largo, cioè la vita interiore, ciò che sboccia dal cuore dell’uomo.

Sto lavorando sul tema del metodo di progresso spirituale, paragonando proprio nella spiritualità Ignaziana e nel Buddismo della scuola Theravada in Tailandia. E’ una grande distanza perché si tratta da un lato di una tradizione teistica e dall’altro lato di una tradizione non-teistica. E’ possibile paragonarle? Trovo una struttura, una ‘logica’, che rende paragonabili le due tradizioni. E se ci sono dei beni in queste tradizioni, certamente sono dall’unica Sorgente. Mi convince questa saggezza ignaziana: “…vedere come tutti i beni e i doni discendano dall’alto… e lo stesso la giustizia, la bontà, la pietà, la misericordia, ecc., proprio come i raggi discendono dal sole, le acque dalla fonte, ecc.” (Cf. Esercizi Spirituali [= EESS] 237).


Come il DEI aiuta nel mio campo di ricerca?


Nel DEI non troviamo una voce sul Buddismo. Ciononostante, diverse voci sonopertinenti al mio campo di ricerca: Zen y Ejercicios Espirituales, Sadhana, Hinduismo. Non solo presentano le caratteristiche di ognuna delle tradizioni orientali trattate, ma indicano chiaramente i punti nodali dove c’è la possibilità d’incontro o dialogo tra spiritualità ignaziana e le discipline spirituali orientali. Inoltre, c’indicano diversi aspetti della spiritualità ignaziana come una guida per un dialogo fruttuoso con queste tradizioni.

Nella voce Zen y Ejercicios Espirituales, il Padre Bernard Senécal, SJ indica un abisso che separa lo Zen e gli Esercizi Spirituali. La tradizione Zen (Cinese: Chan) ha una coerenza molto forte come frutto dell’incontro fruttuoso fra il Buddismo dall’India e il taoismo della Cina. La via negativa dello Zen può condurre un praticante alla negazione di ogni fondamento metafisico. Un cristiano deve sufficientemente radicato nella propria tradizione cristiana ed essere maturo spiritualmente per poter entrare nel dialogo fruttuoso con lo Zen senza perdere il proprio orizzonte.

La voce Hinduismo, ci mostra tanti punti d’incontro possibili fra gli Esercizi Spirituali e il cammino mistico nel Bhagavad Gita (= Gita), uno degli scritti canonici dell’Indù. Ci sono dei chiari paralleli fra i due cammini spirituali: ambedue si presentano come un cammino mistico verso Dio; invitano a vedere Dio attivo e presente in tutte le cose; coinvolgono in un combattimento spirituale contro la forza del male; e ambedue mettono in un cammino di discernimento. Ciononostante, si mostra anche una grande differenza fra gli EESS e Gita. Il Signore nel Gita è la manifestazione mistica o cosmica della presenza divina, mentre il Signore negli EESS è la incarnazione storica di Dio in Gesù Cristo. Il Signore del Gita non si preoccupa con la sorte dell’uomo, mentre negli EESS il Salvatore patisce con i peccati dell’uomo. Il frutto della spiritualità di Gita è un equanimità in mezzo alla lotta della vita, mentre il frutto degli EESS è coinvolgimento nella lotta per il regno di Dio.

La voce Sadhana, ci presenta lo sforzo dell’Istituto di Sadhana con la figura di Padre Anthony de Mello, SJ per un’integrazione della tradizione spirituale cristiana, fondamentalmente occidentale, con la tradizione spirituale dell’India. Il metodo Sadhana ha accolto gli influssi delle grandi figure come Gandhi, Ramdas, Krishnamurti e Achan Chah. Cerca di aiutare il praticante a vivere profondamente attraverso l’attenzione nella quotidianità e semplicità per entrare nel mistero della vita, dell’amore e della trascendenza. Attraverso un linguaggio spirituale non esplicitamente cristiano, tenta di offrire un aiuto spirituale anche oltre i limiti della fede cristiana.

Le voci di stampo psicologico: psicología y Ejercicios: Gestalt, Focusing, MPA (Meditación profunda y autoconocimiento) mi permettono di valutare diverse tradizioni orientali, soprattutto la meditazione buddista Theravada, e di vedere i loro valori salutari dal punto di vista psicologico. Ciò che è buono e sano psicologicamente, può essere un appoggio secondario o una tappa introduttiva per un metodo nettamente cristiano. La MPA cerca d’essere di aiuto spiritualmente anche, come Sadhana, per i non cristiani; anzi può anche essere un aiuto, di fatto spirituale, per un pubblico di orientamento agnostico.

Le voci Islam, Increencia, cultura (inculturación), e diálogo interreligioso mi offrono una gamma ancora più ampia per vedere come la spiritualità ignaziana può e deve entrare nell’incontro con qualsiasi tradizione spirituale. E’, infatti, un servizio d’amore incontrare e condividere il bene con diverse persone da diverse tradizioni spirituali.

Altrettanto, quelle voci tipiche della spiritualità ignaziana sono ancora più pertinenti al mio campo di ricerca. Per poter entrare nel fecondo incontro con diverse tradizioni spirituali, devo prima di tutto approfondire la mia spiritualità cristiana e, ancora più specificata, ignaziana e gesuita.


Cosa manca nel DEI?


Come ho segnalato all’inizio, non trovo nessuna voce sul Buddismo. Certo la parola Buddismo è menzionata in vari luoghi, in diverse voci (a.e.: Zen y Ejercicios Espirituales, Sadhana, Hinduismo, ecc.). Ma c’è una grande tradizione spirituale proprio del Buddismo, sia della scuola Theravada che della Mahayana, e per questo merita una proporzionale attenzione.

La meditazione è centrale nell’insegnamento della vita interiore o spiritualità buddista. Lo scopo della meditazione è per purificare la mente da ogni tipo di lordura o macchia. Solo con la mente pura, l’uomo può vivere nell’equanimità senza essere turbato dalle cose che lo circondano e raggiungere una vera libertà dal circolo di rinascita. Un Arahan è un ideale o un santo buddista che, anche mentre vive nel mondo, ha raggiunto la libertà da ogni lordura e dopo la sua morte non rinascerà per sempre.

Ci sono diversi aspetti che possono essere luoghi d’incontro e dialogo fra spiritualità ignaziana e spiritualità tipica buddista: la visione sul mondo e sull’uomo (antropologia), l’idea di salvezza, di progresso spirituale, di purificazione; comprensione sul ruolo della mente e centralità del cuore; il ruolo della disciplina ascetica, ecc.

Nel mio studio sul metodo di progresso spirituale, ho trovato dei temi precisi che possono arricchire vicendevolmente la spiritualità ignaziana e quella buddista. Paralleli a sono il processo di purificazione (1 Settimana), il cambiamento di regola di discernimento (quella di 1 Sett. a quella di 2 Sett.), il ruolo di accompagnatore (kalyâna-mitta), centralità della mente o cuore. Nella scuola Theravada, praticamente non si distingue fra cuore e mente; nella lingua Tailandese si usa una unica parola (chitchai: da chit=citta= mente e chai=cuore) per indicare ambedue mente e cuore. Nella meditazione buddista, si addestra la potenzialità della mente, una cultura che noi cristiani od occidentali non conosciamo molto. Altrettanto noi abbiamo un concetto di persona così chiara, che i buddisti con fatica tentano di formulare soprattutto quando si tratta dei rapporti sociali.


* Presentato nell'Atto accademico "Presentazione del Diccionario de Espiritualidad Ignaciana," ( http://www.ignaziana.org/3-2007_4.pdf) presso l'Istituto di Spiritualità, Università Gregoriana Roma, il 23 maggio 2007. Pubblicato nel: http://www.ignaziana.org/rivista.html Edizione numero 3, 2007 (http://www.ignaziana.org/3-2007.pdf).