Tuesday, February 16, 2010

Gus Dur, Sahabat Allah dan Sahabat Manusia

Oleh: Valeria Martano *)

ABDURRAHMAN WAHID yang lebih akrab dipanggil Gus Dur menerima saya di kantornya, di lantai dasar gedung baru Nadhlatul Ulama (NU) di Jalam Kramat Raya, jalan yang selalu padat dengan lalu lintas Jakarta. Dia menerima saya dengan penuh senyum sebagai seorang sahabat yang telah lama saling kenal. Persahabatan kami sudah sekitar duapuluhan tahun. Kami bertemu pada tahun 1990, ketika setelah pertemuan para pemuka agama-agama dunia di Assisi, kami dari Komunitas Sant’Egidio menjelajahi Asia untuk bertemu para tokoh agama-agama yang berkeinginan untuk meneruskan semangat perdamaian yang telah dimulai di Assisi.

Gus Dur sejak awal tahun 80-an sudah menjadi pemimpin NU, organisasi Islam terbesar di seluruh dunia dengan sekitar 40 juta pengikut. Salah satu hal yang pertama-tama dijelaskannya kepada saya adalah mengenai Anggaran Dasar NU, yang sudah ada sebelum berdirinya negara Indonesia. Pengaruh NU, seperti halnya pengaruh organisasi keagamaan yang lain, merambah luas mempengaruhi struktur organisasi masyarakat Indonesia, struktur pendidikan (dengan pondok-pondok pesantren), struktur penanganan kesehatan masyarakat dan struktur pemerintahan di desa-desa.

Sudah sejak awal jaman Suharto, Gus Dur merupakan satu-satunya ‘suara bebas’ di negeri ini, yang dengan lantang membela yang kecil dengan menyuarakan keadilan dan demokrasi. Saya menemuinya setiap kali saya datang ke Indonesia, dua-tiga kali setahun. Rumahnya selalu terbuka.

Bagi saya, yang mulai mengenal dunia kompleks Indonesia, Gus Dur merupakan seorang guru. Dia mengajari saya banyak hal mengenai negara yang besar ini: budayanya, agama-agamanya. Dia telah memberikan kunci untuk pemahaman langkah-langkah sejarah penting dari negeri ini, beserta perjalanannya yang penuh ketegangan sebagai tempat percampuran etnik, budaya dan agama, dan yang dalam waktu yang sangat singkat telah melalui perubahan yang menakjubkan baik secara ekonomi maupun politik. Dalam perjalanan waktu, persahabatan kami semakin diperdalam. Beberapa kali Gus Dur mengunjungi Komunitas Sant’Egidio induk di Roma, di mana dia merasakan seperti di rumah sendiri, sampai-sampai dia selalu menggunakannya sebagai tempat konferensi persnya di Italia, baik sebelum maupun setelah menjadi presiden. Gus Dur sangat terkesan dengan apa yang dilakukan Komunitas Sant’Egidio untuk perdamaian. Setiap kali saya bertemu dengannya, dia pasti menanyakan kabar Andrea Riccardi, pendiri komunitas kami. “Kita butuh orang-orang seperti Andrea Riccardi”, demikian kalimat yang selalu diulang-ulanginya. Beberapa kali Gus Dur berpartisipasi dalam Doa untuk Perdamaian yang diprakarsai oleh Komunitas Sant’Egidio, seperti yang pernah dihadirinya di Barcelona dan di Roma. Juga dia berpartisipasi aktif dalam pertemuan dialog antara pemuka-pemuka Islam dan para wakil agama-agama sedunia.

Setelah menjadi presiden pun, dia tetap selalu menjadi sahabat yang dekat dengan kami. Ia menjadi presiden selama kurang dari dua tahun. Kendati kesehatannya tidak selalu baik, hal ini tidaklah menjadi halangan baginya untuk bekerja secara penuh bagi rakyatnya. Ia telah memimpin bangsa Indonesia pada masa-masa yang sangat rumit, dan berhasil menjamin transisi demokratis dengan mewujudkan reformasi hal-hal mendasar, yang dirasakan buahnya dengan berjalannya waktu. Pemerintahannya berakhir di tengah berbagai kesulitan, namun Gus Dur bukanlah tipe orang yang mudah putus asa. Dia terus menjadi pemimpin keagamaan, pemimipin moral dan suara penuh kebebasan yang membela mereka yang lemah. Setiap kali agama dijadikan alasan untuk tindak kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, Gus Dur selalu berpihak pada mereka yang menjadi korban. Umat Kristiani tahu betul hal ini dan bersatu dengannya.



Ketika Komunitas Sant’Egidio mulai mengumpulkan tandatangan untuk meminta penangguhan segala eksekusi hukuman mati dengan sasaran untuk mencapai penghapusan penuh hukuman mati, Gus Dur termasuk di antara yang pertama menandatangani. Kita juga tidak lupa akan usahanya untuk menyelamatkan nyawa Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, yang dieksekusi 22 September 2006.

Gus Dur adalah juga seorang pribadi yang percaya teguh akan kekuatan doa. Saya masih ingat benar. Suatu hari Gus Dur mengikuti pertemuan kecil dengan orang-orang yang datang ke tempatnya pagi-pagi benar untuk meminta nasehat dan bantuan. Dengan masing-masing, Gus Dur menjalin percakapan yang sangat personal dan berbeda-beda. Kepada seorang ibu, dia memberikan uang untuk membayar sewa rumah. Kepada seorang ibu lagi yang datang lebih kemudian dengan permintaan yang kurang lebih sama, Gus Dur menyuruh orang itu menulis sebuah doa di atas kertas karton dan menyuruhnya membaca ulang sebelas kali tiap hari. “Hanya ini?” tanya ibu itu dengan penuh harapan akan mendapatkan bantuan material. Saat itulah, untuk yang pertama kalinya serta yang terakhir kalinya, saya mendengar Gus Dur menjawab dengan kata-kata yang tajam: “Ibu, kalau ibu tidak percaya dengan kekuatan doa, mengapa datang ke sini? Berdoalah dengan penuh kepercayaan, dan situasinya akan teratasi!”

Masih banyak hal yang bisa diceritakan mengenai pribadi yang dengan kesederhanaannya telah mengubah perjalanan sejarah bangsanya, dengan meletakkan pada tempat pertama dialog, saling pemahaman di antara para penganut agama yang berbeda-beda dan perjuangan untuk perdamaian. Saya senang mengingatnya sebagai sahabat Allah dan sahabat manusia.

*) Penulis adalah Koordinator Komunitas Sant'Egidio induk di Roma untuk Komunitas-komunitas Sant'Egidio di wilayah Asia Timur. Teks asli dalam bahasa Italia, alih bahasa dan editing oleh Petrus Puspobinatmo, SJ. Artikel ini dimuat di Majalah HIDUP, 14 Pebruari 2010, hlm. 41.