Sunday, August 16, 2009

Cory C. Aquino's Prayer

PRAYER FOR A HAPPY DEATH
BY CORY C. AQUINO

Almighty God, most merciful Father
You alone know the time
You alone know the hour
You alone know the moment
When I shall breathe my last.
So, remind me each day,
most loving Father
To be the best that I can be.
To be humble,
to be kind,
To be patient,
to be true.
To embrace what is good,
To reject what is evil,
To adore only You.

When the final moment does come
Let not my loved ones grieve for long.
Let them comfort each other
And let them know
how much happiness
They brought into my life.
Let them pray for me,
As I will continue to pray for them,
Hoping that they will always pray
for each other
Let them know that they made possible
whatever good I offered to our world.
And let them realize that our separation
Is just for a short while
As we prepare for our reunion in eternity
Our Father in heaven,
You alone are my hope.
You alone are my salvation.
Thank you for your unconditional love, Amen.

Thursday, May 7, 2009

Shalom Aleichem - Shalawat Global

Shalom Aleichem - Shalawat Global

Hebrew and Arabic mixed on medley (sholawat) by Kiai Kanjeng.
Property of Progress Yogyakarta, Indonesia.

http://www.padhangmbulan.com/
http://www.kiaikanjeng.com/

Shalom aleichem (or sholom aleichem) is a greeting version in Hebrew, literally meaning "Peace be upon you." The appropriate response is "Aleichem shalom," or "Upon you be peace."

This form of greeting was traditional among the Ashkenazi Jews communities of Eastern Europe. However, it is very similar to the Arabic-language greeting used by many Muslims throughout the world, assalamu alaikum. The Christian Maltese phrase, sliem ghalikom is cognate with both Arabic and Hebrew equivalents. The greeting is used in plural - so as to greet multiple people - even when greeting a lone individual. One religious explanation for this is that one greets both a body and a soul. But it ought to be noted that many plural Hebrew words are used in reference to something singular.
Shalom could be also interpreted as "The Peace": a peace personally felt, a deep calmness and mental balance, which is said to come to those who appreciate God.

Friday night Shabbat welcoming song.
Shalom Aleichem is also a traditional song sung Friday night at the beginning of Shabbat, the Jewish Sabbath. In this case the words are used to welcome in the angels who accompany a person home on the eve of the Sabbath. It can be sung with many different melodies, but it is always sung with great happiness and joy.

According to the Ashkenazi tradition, the song in Hebrew language transliteration is as follows:

Shalom aleichem malachei ha-shareis malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.

Bo'achem le-shalom malachei ha-shalom malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.

Barchuni le-shalom malachei ha-shalom malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.

Tzeis'chem le-shalom malachei ha-shalom malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.


The words to the song translate:
Peace upon you, ministering angels, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.

Come in peace, messengers of peace, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.

Bless me with peace, messengers of peace, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.

May your departure be in peace, messengers of peace, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.


Melodies:
The slow well-known melody for the song was composed by the American Rabbi Israel Goldfarb in May, 1918 while sitting near the Alma Mater statue in front Low Memorial Libraryat Columbia University. Goldfarb's work is often presumed to be a traditional Hasidic melody. He wrote in 1963, "The popularity of the melody traveled not only throughout this country but throughout the world, so that many people came to believe that the song was handed down from Mt. Sinai by Moses."


Saturday, April 11, 2009

Why do you seek the living one among the dead?

"Why look among the dead for someone who is alive? He is not here; he has risen. Remember what he told you when he was still in Galilee: that the Son of Man had to be handed over into the power of sinful men and be crucified, and rise again on the third day." (Luke 24,5-7)

Friday, March 6, 2009

Bhineka Tunggal Ika – Manguak keharmonisan dalam keberagaman di Indonesia


Konferensi yang berjudul Unity in Diversity: The Culture of Coexistence in Indonesia (Kesatuan dalam Keberagaman: Budaya Hidup Bersama di Indonesia) telah menampilkan Indonesia sebagai model hidup bersama secara harmonis dalam keragaman budaya dan agama.
Konferensi ini diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri Italia dalam kerjasama dengan Komunitas Sant’Egidio pada hari Rabo 4 Maret 2009 di Gedung Kementerian Luar Negeri Italia, Roma.
“Indonesia telah menjadi referensi untuk kehidupan bersama antar budaya dan agama dan dipandang sebagai jembatan antara Barat dan dunia Islam di Timur Jauh,” demikian ungkap Menlu Italia Franco Frattini saat membuka konferensi bersama dengan Menlu Indonesia Hassan Wirajuda.
Hadir sebagai pembicara dari Indonesia antara lain Ketua Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, Bactiar Effendi dan Azyumardi Azra, keduanya dari UIN Jakarta, Siti Musdah Mulia dari ICRP, Sekjen WALUBI Philip K. Wijaya dan Ketua KWI Mgr. Martinus D. Situmorang OFMCap. Sedang dari pihak Italia, tampil sebagai pembicara antara lain Andrea Riccardi, dosen sejarah kontemporer di Universitas Roma Tre dan pendiri Komunitas Sant’Egidio, dan Mgr. Vincenzo Paglia, Ketua Komisi Dialog dan Ekumenis Konferensi Para Uskup Italia.
Konferensi yang terbagi dalam dua sessi ini pertama membahas tema “Kristiani dan Islam untuk budaya hidup bersama”. Pada sessi kedua dibahas tema “Masyarakat Sipil, Islam dan Kehidupan bersama”
Frattini memuji usaha Indonesia sebagai negara multi kultural dan multi agama yang mendasarkan prinsip kenegaraannya pada Bhinekka Tunggal Ika. “Indonesia dalam sejarahnya telah menghasilkan model Islam yang khas, terbuka dan toleran, Islam alternatif, yang sangat dihargai dan pantas lebih dikenal di Barat,” lanjut Frattini.
Andrea Riccardi memandang Indonesia sebagai laboratorium hidup bersama. Pendiri Komunitas Sant’Egidio ini mengungkapkan perlunya visi untuk bisa membangun identitas diri di dunia yang makin majemuk ini. “Persis di hadapan tantangan global ini, Indonesia menawarkan visi peradaban hidup bersama di antara keberagaman,” tegas Riccardi.
Indonesia memiliki kekayaan keberagaman budaya dengan toleransi dan tradisi spiritualitas yang kuat. Islam di Indonesia sangat terkait dengan tradisi sufisme. Hidup bersama dalam kesatuan yang harmonis bukan berarti menanggalkan identitas iman, melainkan justru menuntut masing-masing semakin mendalam dalam identitas budaya dan agamanya. “Toleransi adalah bagian dari Islam,” demikian ungkap Hasyim Muzadi. “Konflik yang kadang muncul biasanya disebabkan oleh hal-hal yang pada dasarnya bukan langsung menyangkut agama atau iman,” tambah Muzadi.
Keberagaman budaya dan agama di Indonesia menjadi suatu kesempatan baik untuk membangun hidup bersama. Riccardi mengungkapkan bahwa mereka yang tergoda untuk menjadi puritan dan menginginkan homogen, sering kali bertindak demikian karena rasa ketakutan. Mengacu kepada Mahatma Gandhi, Riccardi menambahkan bahwa pembebasan yang sejati adalah tidak adanya rasa takut.
Mgr. Vincenzo Paglia mengungkapkan bahwa kesadaran baru setelah Konsili Vatikan II akan kesatuan rencana Allah untuk seluruh umat manusia menjadi landasan kuat bagi umat Katolik untuk menjunjung tinggi kehidupan bersama yang harmonis.
Sementara itu Mgr. Martinus Situmorang mengingatkan bahwa agama bisa menjadi pemersatu, namun juga bisa diperalat untuk memecah-belah masyarakat. Karenanya Situmorang mengingatkan bahwa “para pemimpin agama adalah kunci dalam usaha membangun kehidupan bersama yang harmonis di antara elemen masyarakat yang berbera-beda dan untuk memperkuat dialog antar mereka.” Ditambahkannya bahwa “ajaran para pemimpin agama harus diarahkan kepada nilai dan tujuan sejati dari agama-agama.” ***

[Artikel ini secara lebih singkat dimuat dalam majalah HIDUP, 29 Maret 2009, hlm. 30]

Untuk berita di media silahkan kunjungi:
Komunitas Sant'Egidio
DetikNews: (1), (2).
The Jakarta Post: (1), (2), (3), (4).
Untuk pendalaman mengenai tema ini, silahkah simak lebih lanjut: (1), (2), (3).


Sunday, February 1, 2009

Christianity, Buddhism and the Jesuits of East Asia

Area: Thailand – Indonesia.

Fr. Petrus Puspobinatmo, S.J.


Petrus is an Indonesian Jesuit who is scheduled to work in Thailand. He was born in 1968 in Muntilan in Central Java, and entered the Society of Jesus in 1988. After his novitiate in Girisonta in Central Java and Philosophy in Jakarta he did his regency in Thailand. During his regency he assisted in pastoral work at the University student chaplaincy, and here he assisted at many work camps where several Buddhist students participated. Later he started his theology at Gregorian University and was ordained a priest in the year 2000. Right now he is pursuing his doctoral research at the Institute of Spirituality in Gregorian University, and he is working on the topic of Comparative Spirituality. The title of his dissertation is Ignatian Spirituality meets Buddhist Wisdom: Human Maturation as an Integral part of Spiritual Progress. A Case Study in Thailand. Petrus has decided to work on the method of spiritual progress taught by ACARIYA MUN BHURIDATTA THERA (1870-1949), the founder of the Forest Tradition of Theravada Buddhism in Thailand.

Petrus is now at Gregorian University in Rome. He may be contacted at the following address:

Collegio S. Roberto Bellarmino
Via del Seminario 120
00186 Rome
Italy


Telephone: +39-06-695276642
Fax: +39-06-695 276 562
E-mail: puspobinatmo@unigre.it

URL: http://pweb.sophia.ac.jp/jesuit45/

DIALOGO SPIRITUALE *

di Petrus Puspobinatmo, S.J. – Istituto di Spiritualità, PUG – Roma


Il contesto: perché dialogo spirituale?


Vengo dall’Indonesia, un paese della maggioranza musulmana. E lavorerò in Tailandia, un paese della maggioranza buddista. In Asia, dovunque andiamo troviamo la gente di diverse grandi tradizioni religiose: Islam (in Indonesia, Malesia), Cristianesimo (nelle Filippine), Buddismo (in Sri Lanka, Tailandia, Myanmar, Cambogia, Vietnam), Indù (in India), Confucianismo, Taoismo, e diverse credenze religiose indigene, ecc. Viviamo in mezzo a loro. Ed è il motivo per prendere sul serio l’incontro con loro, per considerare la ricchezza delle loro tradizioni spirituali e per dare testimonianza viva della nostra spiritualità. Resto appassionato dall’incontro con la tradizione buddista della scuola Theravada in Tailandia e la sua spiritualità. Devo aggiungere subito, però, una nota: quando parliamo di spiritualità in questo contesto dobbiamo capirla nel senso molto largo, cioè la vita interiore, ciò che sboccia dal cuore dell’uomo.

Sto lavorando sul tema del metodo di progresso spirituale, paragonando proprio nella spiritualità Ignaziana e nel Buddismo della scuola Theravada in Tailandia. E’ una grande distanza perché si tratta da un lato di una tradizione teistica e dall’altro lato di una tradizione non-teistica. E’ possibile paragonarle? Trovo una struttura, una ‘logica’, che rende paragonabili le due tradizioni. E se ci sono dei beni in queste tradizioni, certamente sono dall’unica Sorgente. Mi convince questa saggezza ignaziana: “…vedere come tutti i beni e i doni discendano dall’alto… e lo stesso la giustizia, la bontà, la pietà, la misericordia, ecc., proprio come i raggi discendono dal sole, le acque dalla fonte, ecc.” (Cf. Esercizi Spirituali [= EESS] 237).


Come il DEI aiuta nel mio campo di ricerca?


Nel DEI non troviamo una voce sul Buddismo. Ciononostante, diverse voci sonopertinenti al mio campo di ricerca: Zen y Ejercicios Espirituales, Sadhana, Hinduismo. Non solo presentano le caratteristiche di ognuna delle tradizioni orientali trattate, ma indicano chiaramente i punti nodali dove c’è la possibilità d’incontro o dialogo tra spiritualità ignaziana e le discipline spirituali orientali. Inoltre, c’indicano diversi aspetti della spiritualità ignaziana come una guida per un dialogo fruttuoso con queste tradizioni.

Nella voce Zen y Ejercicios Espirituales, il Padre Bernard Senécal, SJ indica un abisso che separa lo Zen e gli Esercizi Spirituali. La tradizione Zen (Cinese: Chan) ha una coerenza molto forte come frutto dell’incontro fruttuoso fra il Buddismo dall’India e il taoismo della Cina. La via negativa dello Zen può condurre un praticante alla negazione di ogni fondamento metafisico. Un cristiano deve sufficientemente radicato nella propria tradizione cristiana ed essere maturo spiritualmente per poter entrare nel dialogo fruttuoso con lo Zen senza perdere il proprio orizzonte.

La voce Hinduismo, ci mostra tanti punti d’incontro possibili fra gli Esercizi Spirituali e il cammino mistico nel Bhagavad Gita (= Gita), uno degli scritti canonici dell’Indù. Ci sono dei chiari paralleli fra i due cammini spirituali: ambedue si presentano come un cammino mistico verso Dio; invitano a vedere Dio attivo e presente in tutte le cose; coinvolgono in un combattimento spirituale contro la forza del male; e ambedue mettono in un cammino di discernimento. Ciononostante, si mostra anche una grande differenza fra gli EESS e Gita. Il Signore nel Gita è la manifestazione mistica o cosmica della presenza divina, mentre il Signore negli EESS è la incarnazione storica di Dio in Gesù Cristo. Il Signore del Gita non si preoccupa con la sorte dell’uomo, mentre negli EESS il Salvatore patisce con i peccati dell’uomo. Il frutto della spiritualità di Gita è un equanimità in mezzo alla lotta della vita, mentre il frutto degli EESS è coinvolgimento nella lotta per il regno di Dio.

La voce Sadhana, ci presenta lo sforzo dell’Istituto di Sadhana con la figura di Padre Anthony de Mello, SJ per un’integrazione della tradizione spirituale cristiana, fondamentalmente occidentale, con la tradizione spirituale dell’India. Il metodo Sadhana ha accolto gli influssi delle grandi figure come Gandhi, Ramdas, Krishnamurti e Achan Chah. Cerca di aiutare il praticante a vivere profondamente attraverso l’attenzione nella quotidianità e semplicità per entrare nel mistero della vita, dell’amore e della trascendenza. Attraverso un linguaggio spirituale non esplicitamente cristiano, tenta di offrire un aiuto spirituale anche oltre i limiti della fede cristiana.

Le voci di stampo psicologico: psicología y Ejercicios: Gestalt, Focusing, MPA (Meditación profunda y autoconocimiento) mi permettono di valutare diverse tradizioni orientali, soprattutto la meditazione buddista Theravada, e di vedere i loro valori salutari dal punto di vista psicologico. Ciò che è buono e sano psicologicamente, può essere un appoggio secondario o una tappa introduttiva per un metodo nettamente cristiano. La MPA cerca d’essere di aiuto spiritualmente anche, come Sadhana, per i non cristiani; anzi può anche essere un aiuto, di fatto spirituale, per un pubblico di orientamento agnostico.

Le voci Islam, Increencia, cultura (inculturación), e diálogo interreligioso mi offrono una gamma ancora più ampia per vedere come la spiritualità ignaziana può e deve entrare nell’incontro con qualsiasi tradizione spirituale. E’, infatti, un servizio d’amore incontrare e condividere il bene con diverse persone da diverse tradizioni spirituali.

Altrettanto, quelle voci tipiche della spiritualità ignaziana sono ancora più pertinenti al mio campo di ricerca. Per poter entrare nel fecondo incontro con diverse tradizioni spirituali, devo prima di tutto approfondire la mia spiritualità cristiana e, ancora più specificata, ignaziana e gesuita.


Cosa manca nel DEI?


Come ho segnalato all’inizio, non trovo nessuna voce sul Buddismo. Certo la parola Buddismo è menzionata in vari luoghi, in diverse voci (a.e.: Zen y Ejercicios Espirituales, Sadhana, Hinduismo, ecc.). Ma c’è una grande tradizione spirituale proprio del Buddismo, sia della scuola Theravada che della Mahayana, e per questo merita una proporzionale attenzione.

La meditazione è centrale nell’insegnamento della vita interiore o spiritualità buddista. Lo scopo della meditazione è per purificare la mente da ogni tipo di lordura o macchia. Solo con la mente pura, l’uomo può vivere nell’equanimità senza essere turbato dalle cose che lo circondano e raggiungere una vera libertà dal circolo di rinascita. Un Arahan è un ideale o un santo buddista che, anche mentre vive nel mondo, ha raggiunto la libertà da ogni lordura e dopo la sua morte non rinascerà per sempre.

Ci sono diversi aspetti che possono essere luoghi d’incontro e dialogo fra spiritualità ignaziana e spiritualità tipica buddista: la visione sul mondo e sull’uomo (antropologia), l’idea di salvezza, di progresso spirituale, di purificazione; comprensione sul ruolo della mente e centralità del cuore; il ruolo della disciplina ascetica, ecc.

Nel mio studio sul metodo di progresso spirituale, ho trovato dei temi precisi che possono arricchire vicendevolmente la spiritualità ignaziana e quella buddista. Paralleli a sono il processo di purificazione (1 Settimana), il cambiamento di regola di discernimento (quella di 1 Sett. a quella di 2 Sett.), il ruolo di accompagnatore (kalyâna-mitta), centralità della mente o cuore. Nella scuola Theravada, praticamente non si distingue fra cuore e mente; nella lingua Tailandese si usa una unica parola (chitchai: da chit=citta= mente e chai=cuore) per indicare ambedue mente e cuore. Nella meditazione buddista, si addestra la potenzialità della mente, una cultura che noi cristiani od occidentali non conosciamo molto. Altrettanto noi abbiamo un concetto di persona così chiara, che i buddisti con fatica tentano di formulare soprattutto quando si tratta dei rapporti sociali.


* Presentato nell'Atto accademico "Presentazione del Diccionario de Espiritualidad Ignaciana," ( http://www.ignaziana.org/3-2007_4.pdf) presso l'Istituto di Spiritualità, Università Gregoriana Roma, il 23 maggio 2007. Pubblicato nel: http://www.ignaziana.org/rivista.html Edizione numero 3, 2007 (http://www.ignaziana.org/3-2007.pdf).

Komunitas Sant’Egidio dan Injil Cinta Kasih

“Kita begitu terbiasa membeda-bedakan antara orang-orang miskin yang baik dan orang-orang miskin yang jelek. Tetapi Yesus dekat dengan orang-orang miskin karena mereka itu miskin, bukan karena mereka itu baik.” Demikian diungkapkan oleh Mgr. Vincenzo Paglia pada kesempatan Pertemuan “Injil Cinta Kasih” di rumah retret Panti Semedi, Sumberanom, Klaten, Jawa Tengah, tanggal 30 Juni – 3 Juli 2004. Pertemuan bertema “Injil Cinta Kasih” ini diselenggarakan atas kerjasama Komunitas Sant’Egidio (Santo Egidius) dengan Keuskupan Agung Semarang.

Komunitas Sant’Egidio lahir di Roma pada tahun 1968, segera setelah Konsili Vatikan II. Sekarang menjadi gerakan awam dengan anggota lebih dari 40.000 orang, tersebar di Italia dan lebih dari 60 negara lainnya di berbagai benua. Di Indonesia mereka telah hadir di Padang, Pekanbaru, Duri, Jakarta, Bogor, Yogyakarta dan Atambua.
Komunitas Sant’Egidio yang tersebar di berbagai penjuru dunia ini disatukan dalam semangat dan dasar yang sama, yang mewarnai kehadiran mereka: lewat doa bersama, kesaksian semangat Injili dalam hidup sehari-hari, solidaritas dan pelayanan pada kaum miskin, keterlibatan aktif untuk dialog antar agama dan ekumenis, serta perjuangan untuk perdamaian.
Pertemuan di Klaten kali ini sebenarnya merupakan penerusan dari tradisi yang telah dilakukan Komunitas Sant’Egidio dari tahun ke tahun untuk mengumpulkan para gembala umat yakni para imam dan uskup, untuk berbagi pengalaman dengan mereka. Di komunitas induk di Roma, pertemuan semacam pada tingkat internasional diadakan tiap awal Pebruari, sekaligus untuk memperingati ulang tahun Komunitas Sant’Egidio. Pada pertemuan tahunan di Roma, warna ekumenis sangat tampak. Selain para uskup dan imam dari Gereja Katolik Roma, diundang juga para gembala umat dari gereja-gereja ritus Timur, Ortodoks, komunitas Anglikan, Luteran, dll.
Mengingat Indonesia cukup luas wilayahnya dan memiliki beragam budaya dan latar belakang kehidupan umat, dicetuskanlah ide untuk mempertemukan para gembala umat di Indonesia sendiri. Mulailah dengan mengumpulkan para imam dan uskup yang pernah mengenal Komunitas Sant’Egidio. Selain itu dipertimbangkan untuk mengumpulkan mereka dari berbagai penjuru tanah air dan dari berbagai latar belakang keterlibatan karya.
Pada pertemuan pertama yang diadakan di Klaten ini, hadir 52 peserta dari berbagai daerah. Di antara mereka, terdapat 7 uskup (Mgr. Ignatius Suharyo, Pr dari Keuskupan Agung Semarang, yang sekaligus bertindak sebagai tuan rumah; Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM dari Keuskupan Bogor; Mgr. Alexander Djajasiswaja, Pr dari Keuskupan Bandung; Mgr. Andreas Henrisoesanto, SCJ dari Keuskupan Tanjungkarang; Mgr. Martinus D. Situmorang, OFMCap dari Keuskupan Padang; Mgr. Al. Sutrisnaatmaka, MSF dari Keuskupan Palangkaraya dan Mgr. F.X. Pradjasuta, MSF dari Keuskupan Banjarmasin). Mgr. Vincenzo Paglia dari Keuskupan Terni-Narni-Amelia di Italia Tengah datang secara khusus pada pertemuan ini selaku asisten ekklesiastik Komunitas Sant’Egidio. Selain Mgr. Vincenzo Paglia, dari komunitas induk di Roma hadir pula Ibu Valeria Martano dan Pastor Leon Lemmens. Keduanya menjadi koordinator dan penghubung antara komunitas induk di Roma dengan komunitas-komunitas di Indonesia.
Dalam sambutan pembukaan pertemuan, Mgr. Ignatius suharyo, Pr mengajak peserta untuk melihat situasi dunia di jaman ini. Arus globalisasi yang dahsyat menciptakan berbagai kesenjangan dalam masyarakat, yang berbuntut pada kekerasan. Dalam situasi dimikian, Gereja ditantang untuk memberi kesaksian sebagai komunitas pengharapan. Sebagai pijakkan, bukanlah perhitungan-perhitungan manusiawi belaka melainkan iman kristiani itu sendiri yang berpangkal dari kabar gembira Injil. Allah yang telah memulai karyaNya di dunia ini, tak akan gagal. Kita sebagai umat Allah dipanggil untuk terlibat aktif meneruskan karya agung Allah ini lewat kesaksian injili.
Mgr. Vincenzo Paglia menyampaikan dua pembicaraan berjudul “Sabda Tuhan dalam Komunitas” dan “Penghayatan Kasih bersama Kaum Miskin”. Mendengarkan sabda Tuhan merupakan pangkal dan pusat doa Komunitas Sant’Egidio. Dalam doa, didaraskan atau dinyanyikan juga mazmur-mazmur. Mengapa mazmur? Sebab di dalamnya terungkap syukur, pujian, keluh-kesah, ratapan, pengharapan dan iman yang dalam akan Tuhan yang setia. Lewat mazmur kita belajar berkomunikasi secara otentik dengan Tuhan sendiri, baik masing-masing secara pribadi maupun bersama-sama sebagai komunitas.
Berkaitan dengan tema pertemuan “Injil Cinta Kasih”, Mgr. Paglia mengangkat perikop dari Injil Lukas 10:25-37 mengenai orang Samaria yang baik hati, sebagai titik tolak refleksi. Beliau memberi catatan, bahwa perikop ini perlu dibaca berkesinambungan dengan perikop berikutnya mengenai Maria dan Marta. Di situ digambarkan Maria sebagai insan pendengar Sabda dan pendoa. Kaitan ini memberi pesan bahwa di dalam komunitas kristiani, tidak ada keterpisahan antara pendoa dan pelaku cinta kasih. Setiap murid Yesus perlu menghidupi kedua dimensi dasariah injili ini.
Atas pertanyaan si ahli Taurat: “Siapakah sesamaku manusia?”, pada akhir perikop Yesus membalikkan pertanyaan menjadi: “Siapakah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Pertanyaan Yesus yang sifatnya retoris ini, memukul telak si ahli Taurat ini untuk dengan tegas mengakui kebaikan hati si Samaria. Dengan kejelasan pesan, Yesus melanjutkan: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”
Berhadapan dengan realitas banyaknya kaum miskin dan terlantar, kita punya kecenderungan untuk menghindar dari perjumpaan dengan mereka. Berbagai rasionalisasi kerap kita lakukan. Seperti si ahli Taurat, kerap kita ‘bersembunyi’ di balik pertanyaan: “Siapakah sesamaku?” atau “Siapakah kaum miskin dan terlantar?” Pokoknya kita berkecenderungan menghindari perjumpaan interpersonal dengan si miskin dan terlantar. Kecenderungan semacam tampak manakala kita mulai membeda-bedakan antara orang-orang miskin yang baik dan orang-orang miskin yang jelek. Padahal Yesus mengajari kita untuk mencintai orang-orang miskin dan terlantar karena mereka itu miskin dan terlantar, bukan karena mereka itu baik. Bukankah kecenderungan kita untuk menilai baik-buruknya orang kerap merupakan pelarian yang mudah untuk membungkam suara hati kita atau bagaimanapun juga mau memberi batas-batas pada kasih dan menghindari skandal dari solidaritas yang tidak kenal batas? Ajaran Yesus tetaplah sama seperti yang diajarkan kepada si ahli Taurat: perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati itu!
Penginjil Lukas menggarisbawahi dimensi penting dari kasih kristiani ini: sasaran cinta kasih tidak bisa dibatas-batasi atau dilingkupi dengan pengkotak-kotakan. Yang esensial bukanlah mengetahui siapa yang harus dicintai, melainkan mencintai siapapun dan kapanpun.
Kepada orang-orang miskin harus pula diwartakan kabar gembira Injil. Merekapun perlu pertobatan hati. Bukan seperti ‘mitos’ mengenai kaum miskin, yang mengatakan bahwa kaum miskinlah pembawa keselamatan. Bukan! Mereka bukanlah pembawa kekuatan mesianis. Hanya Yesuslah Sang Penyelamat. Dia mengajak kaum miskin juga untuk sampai kepada pertobatan hati dan mencintai serta melayani mereka yang lebih miskin dan lebih terlantar dari mereka sendiri.
Memang benar, bahwa Yesus memberi perhatian secara khusus orang-orang yang miskin dan terlantar. Bukan karena orang-orang yang miskin dan terlantar itu benar dan jujur, tetapi semata-mata karena mereka itu miskin, lemah dan terlantar. Tidak mengherankan bahwa Yesus memanggil mereka itu ‘saudara-saudaraKu’ dan menyebut mereka ‘bahagia’. Yesus tidak menyebut mereka bahagia karena kebaikan mereka, melainkan semata-mata karena mereka itu miskin dan lemah. Keadaan mereka yang miskin dan lemah membuat Yesus memperlakukan mereka sebagai saudara-saudariNya. Sungguh sangat unik bahwa Yesus memakai kata ‘saudaraKu’ hanya untuk dua kategori orang: murid-muridNya dan orang-orang yang miskin dan terlantar. Kedua-duanya adalah saudara-saudariNya. Dalam identifikasi yang unik ini (antara diriNya dan para murid serta orang-orang miskin), terletak dasar untuk hubungan yang tak terpisahkan antara orang-orang miskin dan Gereja.
Orang-orang miskin adalah anggota keluarga dan saudara-saudari kita. Demikian bisa didefinisikan juga hubungan yang tumbuh antara orang-orang miskin dan terlantar dengan Komunitas Sant’Egidio. Tentu orang-orang miskin adalah suatu masalah sosial dan kadang juga politik. Namun mereka tidak bisa direduksi sebatas itu. Ada unsur manusiawi dan personal dalam hubungan dengan orang-orang miskin. Komunitas Sant’Egidio menyadarinya lewat pengalaman dan pengenalan langsung. Bagi seorang kristiani, hubungan dengan orang miskin tumbuh dengan dinamika seperti hidup doa: butuh waktu dan pengalaman, dan berkembang dari semata-mata seruan permohonan menuju kedalaman kontemplasi. Bagaimana menjalin hunungan dekat dengan orang miskin dan terlantar. Dengan membantu mereka, tentunya, namun terlebih-lebih dengan persahabatan. Orang-orang miskin mendambakan untuk berbicara dan didengarkan, mendambakan untuk diperhitungkan, mendambakan untuk dikenal dan dipanggil dengan nama mereka masing-masing.
Untuk para gembala umat, perjumpaan selama tiga hari di Klaten dan terlebih pendalaman mengenai Injil cinta kasih ini bagaikan siraman air segar di tengah-tengah musim kemarau pergulatan karya pastoral mereka. Hal tersebut terungkap dari penuturan Mgr. Martinus D. Situmorang, OFMCap. Beliau datang dengan rasa capai dan penat, baik secara fisik maupun psikis akibat kesibukan pastoral yang terus-menerus sebelum datang ke Klaten. Saat meninggalkan Klaten beliau bisa tertawa lebar dan merasakan kepuasan dan kesejukan hati yang mendalam. Hal senada diungkapkan juga oleh Romo Adrianus Suyadi, SJ. Romo Adri – demikian panggilan akrabnya – merasakan butuh istirahat setelah lama capai secara fisik dan tertekan secara psikis akibat melayani para pengungsi si Ambon. Semenjak kerusuhan yang terakhir di Ambon, Romo Adri merasakan stress. Betapa tidak, di puncak kerusuhan Ambon dia harus mengkoordinir staff JRS (Jesuit Refugee Service) untuk evakuasi di bawah desingan peluru-peluru penembak gelap. Rasa capai dan frustasi dialaminya, melihat harapan damai dan rekonsiliasi yang mulai mekar setelah kerusuhan pertama, kini porak-poranda dengan gelombang kekerasan kedua. Tak diduga-duga bahwa perjumpaan di Klaten akan memberikan penyegaran rohani dan psikis yang mendalam baginya. Ia mengalami dan menemukan bahwa para pengungsi terlantar di Maluku yang dilayani dengan mati-matian, benar-benar adalah saudara-saudarinya.
Pada malam terkhir pertemuan, para peserta disuguhi musik mistik oleh kelompok pemusik antar agama Kua Etnika yang dipimpin oleh Jaduk Ferianto. Pertemuan diakhiri dengan perayaan Ekaristi Kudus, dengan mengenang secara khusus para martir baru abad ke-20, terlebih-lebih saudara-saudari kita yang meninggal karena kesaksian injili di tanah air ini. Awal Ekaristi ditandai dengan prosesi ikon ekumenis “Para Martir dan Saksi Iman Baru dalam Abad XX”. Ikon ini aslinya tersimpan di Basiliki St. Bartolomeus Rasul, di Pulau Tiber, tengah kota Roma. Tergambar dalam ikon ini antara lain wajah almarhum Romo Tarcisius Dewanto, SJ yang gugur melindungi para pengungsi di Suai, Timor Leste, tanggal 6 September 1999. Hadir dalam Ekaristi penutupan Ibu L. Soeharno, Ibunda almarhum Romo Dewanto.

Petrus Puspobinatmo, SJ / Nuriati

[Artikel ini dimuat secara lebih ringkas dlm majalah HIDUP, 22 Agustus 2004, hlm 39]

Catatan:
• Untuk informasi lebih lanjut mengenai Komunitas Sant’Egidio, lihat situs resmi Komunitas Sant’Egidio: www.santegidio.org
• Untuk Komunitas Sant’Egidio di Indonesia, hubungi: Komunitas Sant’Egidio, Jl. Kaji 20, Jakarta, INDONESIA. Kontak person: Sdri. Priska Nuriati, HP: 08129070545, e-mail: nuriati@cbn.net.id

Priests Find Involvement With Sant'Egidio Community Enriches Their Spirituality

Indonesian Catholic priests active in the Community of Sant'Egidio acknowledge that this involvement has enriched their spiritual life.

"I have been with Sant'Egidio (Saint Giles, in Italian) since 2000, and I feel that my closeness with and involvement in the community enriched my life," Jesuit Father Petrus Puspobinatmo told UCA News during the international Sant'Egidio meeting in Rome Feb. 27-28.

He was one of nine Indonesian priests among 350 Anglican, Catholic and Orthodox priests from more than 60 countries who gathered in the Italian capital to celebrate the worldwide community's 40th anniversary.

The celebration, titled Un amore senza confine: 40 anni di Sant'Egidio (A boundless love: 40 years of Sant'Egidio), took place at Sant'Egidio Conference Building near Sant'Egidio Church.

The Indonesian priests included Fathers Carolus Borromeus Mulyatno, Siprianus Hormat and Moses Komela Avan, who came from Yogyakarta on Java, Ledalero on Flores, and Samarinda in East Kalimantan, respectively. They joined six other priests who are working or studying in Rome.

The priests call themselves "spiritual friends" of Sant'Egidio communities in their respective places.

"Being a spiritual friend of Sant'Egidio really enriches me. I feel as if I was given a new mind's eye to comprehend the evangelical commandment of love," said Father Puspobinatmo, who is completing his doctorate studies in spiritual theology at Pontifical Gregorian University in Rome.

"I do not hesitate in building friendships with poor and marginalized people," said the 40-year-old priest.

On Sundays, he said, he celebrates Mass with Sant'Egidio communities on the outskirts of Rome. "The communities usually serve elderly people, mentally and physically disabled people, and also poor people in casa popolare (public housing)," he told UCA News.

The Jesuit praised Sant'Egidio for its constant efforts to promote peace and to help the poor. "I think Sant'Egidio is suitable for Indonesia, which has experienced conflicts in recent years and has many poor people," Father Puspobinatmo added.

During a sharing session on Feb. 28, Father Mulyatno said Sant'Egidio in Yogyakarta became known following an earthquake that struck the area on May 27, 2006. The quake flattened homes and killed about 6,000 people.

"Initially, many people came to help the victims. But after a few months, when publicity lessened, people no longer paying attention to them," he recalled.

"But Sant'Egidio still cares about the victims -- not so much in terms of providing material help but attention," the lecturer at Yogyakarta-based St. Paul Major Seminary told fellow participants.

Sant'Egidio looked for donors to help the victims. "The members volunteered to repair damaged churches and people's houses. They have the principle: no person is so poor that he or she cannot give anything to other people, because the gift does not necessarily have to be in cash or material," the priest said.

Members also help look for parents to adopt children at an orphanage in Wonosari, a district-headquarters town in Yogyakarta province, and provide skills training to people with leprosy in a village in Yogyakarta, according to Father Mulyatno.

Speaking with UCA News on March 6, the 40-year-old diocesan priest, who has been with Sant'Egidio since 1999, said the community's spirituality is an evangelical spirituality of love.

Sant'Egidio also cares about priests, he added. "So Sant'Egidio and priests are like friends who mutually complete and strengthen one another in living the Gospel and build solidarity and fraternity with other people."

Monsignor Vincenzo Paglia, spiritual director for the Community of Sant'Egidio, said in his speech, that many Religious men and women have paid attention to this international Catholic lay movement and became "friends of Sant'Egidio."

Andrea Riccardi and friends started Sant'Egidio in Rome in 1968, when Riccardi was a high school student. They used to pray and to read the Bible together. They also helped poor people living in slum areas.

Sant'Egidio originated from the name of a church dating to Roman times in the area of Trastevere, where Riccardi and his friends used to gather, he recalled.

Known for its work in providing service to the poor, promoting ecumenism, interreligious dialogue, peace and human rights, the Community of Sant'Egidio has more than 50,000 members in more than 70 countries worldwide. In Indonesia, there are 15 communities with about 300 members in 13 dioceses. ***

Published in UCANEWS 10-03-2008:
http://www.ucanews.com/2008/03/10/priests-find-involvement-with-santegidio-community-enriches-their-spirituality/