Sunday, February 1, 2009

Komunitas Sant’Egidio dan Injil Cinta Kasih

“Kita begitu terbiasa membeda-bedakan antara orang-orang miskin yang baik dan orang-orang miskin yang jelek. Tetapi Yesus dekat dengan orang-orang miskin karena mereka itu miskin, bukan karena mereka itu baik.” Demikian diungkapkan oleh Mgr. Vincenzo Paglia pada kesempatan Pertemuan “Injil Cinta Kasih” di rumah retret Panti Semedi, Sumberanom, Klaten, Jawa Tengah, tanggal 30 Juni – 3 Juli 2004. Pertemuan bertema “Injil Cinta Kasih” ini diselenggarakan atas kerjasama Komunitas Sant’Egidio (Santo Egidius) dengan Keuskupan Agung Semarang.

Komunitas Sant’Egidio lahir di Roma pada tahun 1968, segera setelah Konsili Vatikan II. Sekarang menjadi gerakan awam dengan anggota lebih dari 40.000 orang, tersebar di Italia dan lebih dari 60 negara lainnya di berbagai benua. Di Indonesia mereka telah hadir di Padang, Pekanbaru, Duri, Jakarta, Bogor, Yogyakarta dan Atambua.
Komunitas Sant’Egidio yang tersebar di berbagai penjuru dunia ini disatukan dalam semangat dan dasar yang sama, yang mewarnai kehadiran mereka: lewat doa bersama, kesaksian semangat Injili dalam hidup sehari-hari, solidaritas dan pelayanan pada kaum miskin, keterlibatan aktif untuk dialog antar agama dan ekumenis, serta perjuangan untuk perdamaian.
Pertemuan di Klaten kali ini sebenarnya merupakan penerusan dari tradisi yang telah dilakukan Komunitas Sant’Egidio dari tahun ke tahun untuk mengumpulkan para gembala umat yakni para imam dan uskup, untuk berbagi pengalaman dengan mereka. Di komunitas induk di Roma, pertemuan semacam pada tingkat internasional diadakan tiap awal Pebruari, sekaligus untuk memperingati ulang tahun Komunitas Sant’Egidio. Pada pertemuan tahunan di Roma, warna ekumenis sangat tampak. Selain para uskup dan imam dari Gereja Katolik Roma, diundang juga para gembala umat dari gereja-gereja ritus Timur, Ortodoks, komunitas Anglikan, Luteran, dll.
Mengingat Indonesia cukup luas wilayahnya dan memiliki beragam budaya dan latar belakang kehidupan umat, dicetuskanlah ide untuk mempertemukan para gembala umat di Indonesia sendiri. Mulailah dengan mengumpulkan para imam dan uskup yang pernah mengenal Komunitas Sant’Egidio. Selain itu dipertimbangkan untuk mengumpulkan mereka dari berbagai penjuru tanah air dan dari berbagai latar belakang keterlibatan karya.
Pada pertemuan pertama yang diadakan di Klaten ini, hadir 52 peserta dari berbagai daerah. Di antara mereka, terdapat 7 uskup (Mgr. Ignatius Suharyo, Pr dari Keuskupan Agung Semarang, yang sekaligus bertindak sebagai tuan rumah; Mgr. Michael Cosmas Angkur, OFM dari Keuskupan Bogor; Mgr. Alexander Djajasiswaja, Pr dari Keuskupan Bandung; Mgr. Andreas Henrisoesanto, SCJ dari Keuskupan Tanjungkarang; Mgr. Martinus D. Situmorang, OFMCap dari Keuskupan Padang; Mgr. Al. Sutrisnaatmaka, MSF dari Keuskupan Palangkaraya dan Mgr. F.X. Pradjasuta, MSF dari Keuskupan Banjarmasin). Mgr. Vincenzo Paglia dari Keuskupan Terni-Narni-Amelia di Italia Tengah datang secara khusus pada pertemuan ini selaku asisten ekklesiastik Komunitas Sant’Egidio. Selain Mgr. Vincenzo Paglia, dari komunitas induk di Roma hadir pula Ibu Valeria Martano dan Pastor Leon Lemmens. Keduanya menjadi koordinator dan penghubung antara komunitas induk di Roma dengan komunitas-komunitas di Indonesia.
Dalam sambutan pembukaan pertemuan, Mgr. Ignatius suharyo, Pr mengajak peserta untuk melihat situasi dunia di jaman ini. Arus globalisasi yang dahsyat menciptakan berbagai kesenjangan dalam masyarakat, yang berbuntut pada kekerasan. Dalam situasi dimikian, Gereja ditantang untuk memberi kesaksian sebagai komunitas pengharapan. Sebagai pijakkan, bukanlah perhitungan-perhitungan manusiawi belaka melainkan iman kristiani itu sendiri yang berpangkal dari kabar gembira Injil. Allah yang telah memulai karyaNya di dunia ini, tak akan gagal. Kita sebagai umat Allah dipanggil untuk terlibat aktif meneruskan karya agung Allah ini lewat kesaksian injili.
Mgr. Vincenzo Paglia menyampaikan dua pembicaraan berjudul “Sabda Tuhan dalam Komunitas” dan “Penghayatan Kasih bersama Kaum Miskin”. Mendengarkan sabda Tuhan merupakan pangkal dan pusat doa Komunitas Sant’Egidio. Dalam doa, didaraskan atau dinyanyikan juga mazmur-mazmur. Mengapa mazmur? Sebab di dalamnya terungkap syukur, pujian, keluh-kesah, ratapan, pengharapan dan iman yang dalam akan Tuhan yang setia. Lewat mazmur kita belajar berkomunikasi secara otentik dengan Tuhan sendiri, baik masing-masing secara pribadi maupun bersama-sama sebagai komunitas.
Berkaitan dengan tema pertemuan “Injil Cinta Kasih”, Mgr. Paglia mengangkat perikop dari Injil Lukas 10:25-37 mengenai orang Samaria yang baik hati, sebagai titik tolak refleksi. Beliau memberi catatan, bahwa perikop ini perlu dibaca berkesinambungan dengan perikop berikutnya mengenai Maria dan Marta. Di situ digambarkan Maria sebagai insan pendengar Sabda dan pendoa. Kaitan ini memberi pesan bahwa di dalam komunitas kristiani, tidak ada keterpisahan antara pendoa dan pelaku cinta kasih. Setiap murid Yesus perlu menghidupi kedua dimensi dasariah injili ini.
Atas pertanyaan si ahli Taurat: “Siapakah sesamaku manusia?”, pada akhir perikop Yesus membalikkan pertanyaan menjadi: “Siapakah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Pertanyaan Yesus yang sifatnya retoris ini, memukul telak si ahli Taurat ini untuk dengan tegas mengakui kebaikan hati si Samaria. Dengan kejelasan pesan, Yesus melanjutkan: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”
Berhadapan dengan realitas banyaknya kaum miskin dan terlantar, kita punya kecenderungan untuk menghindar dari perjumpaan dengan mereka. Berbagai rasionalisasi kerap kita lakukan. Seperti si ahli Taurat, kerap kita ‘bersembunyi’ di balik pertanyaan: “Siapakah sesamaku?” atau “Siapakah kaum miskin dan terlantar?” Pokoknya kita berkecenderungan menghindari perjumpaan interpersonal dengan si miskin dan terlantar. Kecenderungan semacam tampak manakala kita mulai membeda-bedakan antara orang-orang miskin yang baik dan orang-orang miskin yang jelek. Padahal Yesus mengajari kita untuk mencintai orang-orang miskin dan terlantar karena mereka itu miskin dan terlantar, bukan karena mereka itu baik. Bukankah kecenderungan kita untuk menilai baik-buruknya orang kerap merupakan pelarian yang mudah untuk membungkam suara hati kita atau bagaimanapun juga mau memberi batas-batas pada kasih dan menghindari skandal dari solidaritas yang tidak kenal batas? Ajaran Yesus tetaplah sama seperti yang diajarkan kepada si ahli Taurat: perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati itu!
Penginjil Lukas menggarisbawahi dimensi penting dari kasih kristiani ini: sasaran cinta kasih tidak bisa dibatas-batasi atau dilingkupi dengan pengkotak-kotakan. Yang esensial bukanlah mengetahui siapa yang harus dicintai, melainkan mencintai siapapun dan kapanpun.
Kepada orang-orang miskin harus pula diwartakan kabar gembira Injil. Merekapun perlu pertobatan hati. Bukan seperti ‘mitos’ mengenai kaum miskin, yang mengatakan bahwa kaum miskinlah pembawa keselamatan. Bukan! Mereka bukanlah pembawa kekuatan mesianis. Hanya Yesuslah Sang Penyelamat. Dia mengajak kaum miskin juga untuk sampai kepada pertobatan hati dan mencintai serta melayani mereka yang lebih miskin dan lebih terlantar dari mereka sendiri.
Memang benar, bahwa Yesus memberi perhatian secara khusus orang-orang yang miskin dan terlantar. Bukan karena orang-orang yang miskin dan terlantar itu benar dan jujur, tetapi semata-mata karena mereka itu miskin, lemah dan terlantar. Tidak mengherankan bahwa Yesus memanggil mereka itu ‘saudara-saudaraKu’ dan menyebut mereka ‘bahagia’. Yesus tidak menyebut mereka bahagia karena kebaikan mereka, melainkan semata-mata karena mereka itu miskin dan lemah. Keadaan mereka yang miskin dan lemah membuat Yesus memperlakukan mereka sebagai saudara-saudariNya. Sungguh sangat unik bahwa Yesus memakai kata ‘saudaraKu’ hanya untuk dua kategori orang: murid-muridNya dan orang-orang yang miskin dan terlantar. Kedua-duanya adalah saudara-saudariNya. Dalam identifikasi yang unik ini (antara diriNya dan para murid serta orang-orang miskin), terletak dasar untuk hubungan yang tak terpisahkan antara orang-orang miskin dan Gereja.
Orang-orang miskin adalah anggota keluarga dan saudara-saudari kita. Demikian bisa didefinisikan juga hubungan yang tumbuh antara orang-orang miskin dan terlantar dengan Komunitas Sant’Egidio. Tentu orang-orang miskin adalah suatu masalah sosial dan kadang juga politik. Namun mereka tidak bisa direduksi sebatas itu. Ada unsur manusiawi dan personal dalam hubungan dengan orang-orang miskin. Komunitas Sant’Egidio menyadarinya lewat pengalaman dan pengenalan langsung. Bagi seorang kristiani, hubungan dengan orang miskin tumbuh dengan dinamika seperti hidup doa: butuh waktu dan pengalaman, dan berkembang dari semata-mata seruan permohonan menuju kedalaman kontemplasi. Bagaimana menjalin hunungan dekat dengan orang miskin dan terlantar. Dengan membantu mereka, tentunya, namun terlebih-lebih dengan persahabatan. Orang-orang miskin mendambakan untuk berbicara dan didengarkan, mendambakan untuk diperhitungkan, mendambakan untuk dikenal dan dipanggil dengan nama mereka masing-masing.
Untuk para gembala umat, perjumpaan selama tiga hari di Klaten dan terlebih pendalaman mengenai Injil cinta kasih ini bagaikan siraman air segar di tengah-tengah musim kemarau pergulatan karya pastoral mereka. Hal tersebut terungkap dari penuturan Mgr. Martinus D. Situmorang, OFMCap. Beliau datang dengan rasa capai dan penat, baik secara fisik maupun psikis akibat kesibukan pastoral yang terus-menerus sebelum datang ke Klaten. Saat meninggalkan Klaten beliau bisa tertawa lebar dan merasakan kepuasan dan kesejukan hati yang mendalam. Hal senada diungkapkan juga oleh Romo Adrianus Suyadi, SJ. Romo Adri – demikian panggilan akrabnya – merasakan butuh istirahat setelah lama capai secara fisik dan tertekan secara psikis akibat melayani para pengungsi si Ambon. Semenjak kerusuhan yang terakhir di Ambon, Romo Adri merasakan stress. Betapa tidak, di puncak kerusuhan Ambon dia harus mengkoordinir staff JRS (Jesuit Refugee Service) untuk evakuasi di bawah desingan peluru-peluru penembak gelap. Rasa capai dan frustasi dialaminya, melihat harapan damai dan rekonsiliasi yang mulai mekar setelah kerusuhan pertama, kini porak-poranda dengan gelombang kekerasan kedua. Tak diduga-duga bahwa perjumpaan di Klaten akan memberikan penyegaran rohani dan psikis yang mendalam baginya. Ia mengalami dan menemukan bahwa para pengungsi terlantar di Maluku yang dilayani dengan mati-matian, benar-benar adalah saudara-saudarinya.
Pada malam terkhir pertemuan, para peserta disuguhi musik mistik oleh kelompok pemusik antar agama Kua Etnika yang dipimpin oleh Jaduk Ferianto. Pertemuan diakhiri dengan perayaan Ekaristi Kudus, dengan mengenang secara khusus para martir baru abad ke-20, terlebih-lebih saudara-saudari kita yang meninggal karena kesaksian injili di tanah air ini. Awal Ekaristi ditandai dengan prosesi ikon ekumenis “Para Martir dan Saksi Iman Baru dalam Abad XX”. Ikon ini aslinya tersimpan di Basiliki St. Bartolomeus Rasul, di Pulau Tiber, tengah kota Roma. Tergambar dalam ikon ini antara lain wajah almarhum Romo Tarcisius Dewanto, SJ yang gugur melindungi para pengungsi di Suai, Timor Leste, tanggal 6 September 1999. Hadir dalam Ekaristi penutupan Ibu L. Soeharno, Ibunda almarhum Romo Dewanto.

Petrus Puspobinatmo, SJ / Nuriati

[Artikel ini dimuat secara lebih ringkas dlm majalah HIDUP, 22 Agustus 2004, hlm 39]

Catatan:
• Untuk informasi lebih lanjut mengenai Komunitas Sant’Egidio, lihat situs resmi Komunitas Sant’Egidio: www.santegidio.org
• Untuk Komunitas Sant’Egidio di Indonesia, hubungi: Komunitas Sant’Egidio, Jl. Kaji 20, Jakarta, INDONESIA. Kontak person: Sdri. Priska Nuriati, HP: 08129070545, e-mail: nuriati@cbn.net.id

No comments:

Post a Comment