Perjalanan hidup kita ditandai dengan berbagai pengalaman jatuh bangun, memilih dan memutuskan, sampai akhirnya kita menemukan siapa jati diri kita dan hidup damai sebagai insan yang sejati....
Everything
the.hop.DRAMA.team | Myspace Video
Sunday, February 6, 2011
Tuesday, February 16, 2010
Gus Dur, Sahabat Allah dan Sahabat Manusia
Oleh: Valeria Martano *)
ABDURRAHMAN WAHID yang lebih akrab dipanggil Gus Dur menerima saya di kantornya, di lantai dasar gedung baru Nadhlatul Ulama (NU) di Jalam Kramat Raya, jalan yang selalu padat dengan lalu lintas Jakarta. Dia menerima saya dengan penuh senyum sebagai seorang sahabat yang telah lama saling kenal. Persahabatan kami sudah sekitar duapuluhan tahun. Kami bertemu pada tahun 1990, ketika setelah pertemuan para pemuka agama-agama dunia di Assisi, kami dari Komunitas Sant’Egidio menjelajahi Asia untuk bertemu para tokoh agama-agama yang berkeinginan untuk meneruskan semangat perdamaian yang telah dimulai di Assisi.
Gus Dur sejak awal tahun 80-an sudah menjadi pemimpin NU, organisasi Islam terbesar di seluruh dunia dengan sekitar 40 juta pengikut. Salah satu hal yang pertama-tama dijelaskannya kepada saya adalah mengenai Anggaran Dasar NU, yang sudah ada sebelum berdirinya negara Indonesia. Pengaruh NU, seperti halnya pengaruh organisasi keagamaan yang lain, merambah luas mempengaruhi struktur organisasi masyarakat Indonesia, struktur pendidikan (dengan pondok-pondok pesantren), struktur penanganan kesehatan masyarakat dan struktur pemerintahan di desa-desa.
Sudah sejak awal jaman Suharto, Gus Dur merupakan satu-satunya ‘suara bebas’ di negeri ini, yang dengan lantang membela yang kecil dengan menyuarakan keadilan dan demokrasi. Saya menemuinya setiap kali saya datang ke Indonesia, dua-tiga kali setahun. Rumahnya selalu terbuka.
Bagi saya, yang mulai mengenal dunia kompleks Indonesia, Gus Dur merupakan seorang guru. Dia mengajari saya banyak hal mengenai negara yang besar ini: budayanya, agama-agamanya. Dia telah memberikan kunci untuk pemahaman langkah-langkah sejarah penting dari negeri ini, beserta perjalanannya yang penuh ketegangan sebagai tempat percampuran etnik, budaya dan agama, dan yang dalam waktu yang sangat singkat telah melalui perubahan yang menakjubkan baik secara ekonomi maupun politik. Dalam perjalanan waktu, persahabatan kami semakin diperdalam. Beberapa kali Gus Dur mengunjungi Komunitas Sant’Egidio induk di Roma, di mana dia merasakan seperti di rumah sendiri, sampai-sampai dia selalu menggunakannya sebagai tempat konferensi persnya di Italia, baik sebelum maupun setelah menjadi presiden. Gus Dur sangat terkesan dengan apa yang dilakukan Komunitas Sant’Egidio untuk perdamaian. Setiap kali saya bertemu dengannya, dia pasti menanyakan kabar Andrea Riccardi, pendiri komunitas kami. “Kita butuh orang-orang seperti Andrea Riccardi”, demikian kalimat yang selalu diulang-ulanginya. Beberapa kali Gus Dur berpartisipasi dalam Doa untuk Perdamaian yang diprakarsai oleh Komunitas Sant’Egidio, seperti yang pernah dihadirinya di Barcelona dan di Roma. Juga dia berpartisipasi aktif dalam pertemuan dialog antara pemuka-pemuka Islam dan para wakil agama-agama sedunia.
Setelah menjadi presiden pun, dia tetap selalu menjadi sahabat yang dekat dengan kami. Ia menjadi presiden selama kurang dari dua tahun. Kendati kesehatannya tidak selalu baik, hal ini tidaklah menjadi halangan baginya untuk bekerja secara penuh bagi rakyatnya. Ia telah memimpin bangsa Indonesia pada masa-masa yang sangat rumit, dan berhasil menjamin transisi demokratis dengan mewujudkan reformasi hal-hal mendasar, yang dirasakan buahnya dengan berjalannya waktu. Pemerintahannya berakhir di tengah berbagai kesulitan, namun Gus Dur bukanlah tipe orang yang mudah putus asa. Dia terus menjadi pemimpin keagamaan, pemimipin moral dan suara penuh kebebasan yang membela mereka yang lemah. Setiap kali agama dijadikan alasan untuk tindak kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, Gus Dur selalu berpihak pada mereka yang menjadi korban. Umat Kristiani tahu betul hal ini dan bersatu dengannya.
Gus Dur sejak awal tahun 80-an sudah menjadi pemimpin NU, organisasi Islam terbesar di seluruh dunia dengan sekitar 40 juta pengikut. Salah satu hal yang pertama-tama dijelaskannya kepada saya adalah mengenai Anggaran Dasar NU, yang sudah ada sebelum berdirinya negara Indonesia. Pengaruh NU, seperti halnya pengaruh organisasi keagamaan yang lain, merambah luas mempengaruhi struktur organisasi masyarakat Indonesia, struktur pendidikan (dengan pondok-pondok pesantren), struktur penanganan kesehatan masyarakat dan struktur pemerintahan di desa-desa.
Sudah sejak awal jaman Suharto, Gus Dur merupakan satu-satunya ‘suara bebas’ di negeri ini, yang dengan lantang membela yang kecil dengan menyuarakan keadilan dan demokrasi. Saya menemuinya setiap kali saya datang ke Indonesia, dua-tiga kali setahun. Rumahnya selalu terbuka.
Bagi saya, yang mulai mengenal dunia kompleks Indonesia, Gus Dur merupakan seorang guru. Dia mengajari saya banyak hal mengenai negara yang besar ini: budayanya, agama-agamanya. Dia telah memberikan kunci untuk pemahaman langkah-langkah sejarah penting dari negeri ini, beserta perjalanannya yang penuh ketegangan sebagai tempat percampuran etnik, budaya dan agama, dan yang dalam waktu yang sangat singkat telah melalui perubahan yang menakjubkan baik secara ekonomi maupun politik. Dalam perjalanan waktu, persahabatan kami semakin diperdalam. Beberapa kali Gus Dur mengunjungi Komunitas Sant’Egidio induk di Roma, di mana dia merasakan seperti di rumah sendiri, sampai-sampai dia selalu menggunakannya sebagai tempat konferensi persnya di Italia, baik sebelum maupun setelah menjadi presiden. Gus Dur sangat terkesan dengan apa yang dilakukan Komunitas Sant’Egidio untuk perdamaian. Setiap kali saya bertemu dengannya, dia pasti menanyakan kabar Andrea Riccardi, pendiri komunitas kami. “Kita butuh orang-orang seperti Andrea Riccardi”, demikian kalimat yang selalu diulang-ulanginya. Beberapa kali Gus Dur berpartisipasi dalam Doa untuk Perdamaian yang diprakarsai oleh Komunitas Sant’Egidio, seperti yang pernah dihadirinya di Barcelona dan di Roma. Juga dia berpartisipasi aktif dalam pertemuan dialog antara pemuka-pemuka Islam dan para wakil agama-agama sedunia.
Setelah menjadi presiden pun, dia tetap selalu menjadi sahabat yang dekat dengan kami. Ia menjadi presiden selama kurang dari dua tahun. Kendati kesehatannya tidak selalu baik, hal ini tidaklah menjadi halangan baginya untuk bekerja secara penuh bagi rakyatnya. Ia telah memimpin bangsa Indonesia pada masa-masa yang sangat rumit, dan berhasil menjamin transisi demokratis dengan mewujudkan reformasi hal-hal mendasar, yang dirasakan buahnya dengan berjalannya waktu. Pemerintahannya berakhir di tengah berbagai kesulitan, namun Gus Dur bukanlah tipe orang yang mudah putus asa. Dia terus menjadi pemimpin keagamaan, pemimipin moral dan suara penuh kebebasan yang membela mereka yang lemah. Setiap kali agama dijadikan alasan untuk tindak kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, Gus Dur selalu berpihak pada mereka yang menjadi korban. Umat Kristiani tahu betul hal ini dan bersatu dengannya.
Ketika Komunitas Sant’Egidio mulai mengumpulkan tandatangan untuk meminta penangguhan segala eksekusi hukuman mati dengan sasaran untuk mencapai penghapusan penuh hukuman mati, Gus Dur termasuk di antara yang pertama menandatangani. Kita juga tidak lupa akan usahanya untuk menyelamatkan nyawa Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, yang dieksekusi 22 September 2006.
Gus Dur adalah juga seorang pribadi yang percaya teguh akan kekuatan doa. Saya masih ingat benar. Suatu hari Gus Dur mengikuti pertemuan kecil dengan orang-orang yang datang ke tempatnya pagi-pagi benar untuk meminta nasehat dan bantuan. Dengan masing-masing, Gus Dur menjalin percakapan yang sangat personal dan berbeda-beda. Kepada seorang ibu, dia memberikan uang untuk membayar sewa rumah. Kepada seorang ibu lagi yang datang lebih kemudian dengan permintaan yang kurang lebih sama, Gus Dur menyuruh orang itu menulis sebuah doa di atas kertas karton dan menyuruhnya membaca ulang sebelas kali tiap hari. “Hanya ini?” tanya ibu itu dengan penuh harapan akan mendapatkan bantuan material. Saat itulah, untuk yang pertama kalinya serta yang terakhir kalinya, saya mendengar Gus Dur menjawab dengan kata-kata yang tajam: “Ibu, kalau ibu tidak percaya dengan kekuatan doa, mengapa datang ke sini? Berdoalah dengan penuh kepercayaan, dan situasinya akan teratasi!”
Masih banyak hal yang bisa diceritakan mengenai pribadi yang dengan kesederhanaannya telah mengubah perjalanan sejarah bangsanya, dengan meletakkan pada tempat pertama dialog, saling pemahaman di antara para penganut agama yang berbeda-beda dan perjuangan untuk perdamaian. Saya senang mengingatnya sebagai sahabat Allah dan sahabat manusia.
*) Penulis adalah Koordinator Komunitas Sant'Egidio induk di Roma untuk Komunitas-komunitas Sant'Egidio di wilayah Asia Timur. Teks asli dalam bahasa Italia, alih bahasa dan editing oleh Petrus Puspobinatmo, SJ. Artikel ini dimuat di Majalah HIDUP, 14 Pebruari 2010, hlm. 41.
Gus Dur adalah juga seorang pribadi yang percaya teguh akan kekuatan doa. Saya masih ingat benar. Suatu hari Gus Dur mengikuti pertemuan kecil dengan orang-orang yang datang ke tempatnya pagi-pagi benar untuk meminta nasehat dan bantuan. Dengan masing-masing, Gus Dur menjalin percakapan yang sangat personal dan berbeda-beda. Kepada seorang ibu, dia memberikan uang untuk membayar sewa rumah. Kepada seorang ibu lagi yang datang lebih kemudian dengan permintaan yang kurang lebih sama, Gus Dur menyuruh orang itu menulis sebuah doa di atas kertas karton dan menyuruhnya membaca ulang sebelas kali tiap hari. “Hanya ini?” tanya ibu itu dengan penuh harapan akan mendapatkan bantuan material. Saat itulah, untuk yang pertama kalinya serta yang terakhir kalinya, saya mendengar Gus Dur menjawab dengan kata-kata yang tajam: “Ibu, kalau ibu tidak percaya dengan kekuatan doa, mengapa datang ke sini? Berdoalah dengan penuh kepercayaan, dan situasinya akan teratasi!”
Masih banyak hal yang bisa diceritakan mengenai pribadi yang dengan kesederhanaannya telah mengubah perjalanan sejarah bangsanya, dengan meletakkan pada tempat pertama dialog, saling pemahaman di antara para penganut agama yang berbeda-beda dan perjuangan untuk perdamaian. Saya senang mengingatnya sebagai sahabat Allah dan sahabat manusia.
*) Penulis adalah Koordinator Komunitas Sant'Egidio induk di Roma untuk Komunitas-komunitas Sant'Egidio di wilayah Asia Timur. Teks asli dalam bahasa Italia, alih bahasa dan editing oleh Petrus Puspobinatmo, SJ. Artikel ini dimuat di Majalah HIDUP, 14 Pebruari 2010, hlm. 41.
Sunday, August 16, 2009
Cory C. Aquino's Prayer
PRAYER FOR A HAPPY DEATH
BY CORY C. AQUINO
Almighty God, most merciful Father
You alone know the time
You alone know the hour
You alone know the moment
When I shall breathe my last.
So, remind me each day,
most loving Father
To be the best that I can be.
To be humble,
to be kind,
To be patient,
to be true.
To embrace what is good,
To reject what is evil,
To adore only You.
When the final moment does come
Let not my loved ones grieve for long.
Let them comfort each other
And let them know
how much happiness
They brought into my life.
Let them pray for me,
As I will continue to pray for them,
Hoping that they will always pray
for each other
Let them know that they made possible
whatever good I offered to our world.
And let them realize that our separation
Is just for a short while
As we prepare for our reunion in eternity
Our Father in heaven,
You alone are my hope.
You alone are my salvation.
Thank you for your unconditional love, Amen.
BY CORY C. AQUINO
Almighty God, most merciful Father
You alone know the time
You alone know the hour
You alone know the moment
When I shall breathe my last.
So, remind me each day,
most loving Father
To be the best that I can be.
To be humble,
to be kind,
To be patient,
to be true.
To embrace what is good,
To reject what is evil,
To adore only You.
When the final moment does come
Let not my loved ones grieve for long.
Let them comfort each other
And let them know
how much happiness
They brought into my life.
Let them pray for me,
As I will continue to pray for them,
Hoping that they will always pray
for each other
Let them know that they made possible
whatever good I offered to our world.
And let them realize that our separation
Is just for a short while
As we prepare for our reunion in eternity
Our Father in heaven,
You alone are my hope.
You alone are my salvation.
Thank you for your unconditional love, Amen.
Thursday, May 7, 2009
Shalom Aleichem - Shalawat Global
Shalom Aleichem - Shalawat Global
Hebrew and Arabic mixed on medley (sholawat) by Kiai Kanjeng.
Property of Progress Yogyakarta, Indonesia.
http://www.padhangmbulan.com/
http://www.kiaikanjeng.com/
Shalom aleichem (or sholom aleichem) is a greeting version in Hebrew, literally meaning "Peace be upon you." The appropriate response is "Aleichem shalom," or "Upon you be peace."
This form of greeting was traditional among the Ashkenazi Jews communities of Eastern Europe. However, it is very similar to the Arabic-language greeting used by many Muslims throughout the world, assalamu alaikum. The Christian Maltese phrase, sliem ghalikom is cognate with both Arabic and Hebrew equivalents. The greeting is used in plural - so as to greet multiple people - even when greeting a lone individual. One religious explanation for this is that one greets both a body and a soul. But it ought to be noted that many plural Hebrew words are used in reference to something singular.
Shalom could be also interpreted as "The Peace": a peace personally felt, a deep calmness and mental balance, which is said to come to those who appreciate God.
Friday night Shabbat welcoming song.
Shalom Aleichem is also a traditional song sung Friday night at the beginning of Shabbat, the Jewish Sabbath. In this case the words are used to welcome in the angels who accompany a person home on the eve of the Sabbath. It can be sung with many different melodies, but it is always sung with great happiness and joy.
According to the Ashkenazi tradition, the song in Hebrew language transliteration is as follows:
Shalom aleichem malachei ha-shareis malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.
Bo'achem le-shalom malachei ha-shalom malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.
Barchuni le-shalom malachei ha-shalom malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.
Tzeis'chem le-shalom malachei ha-shalom malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.
The words to the song translate:
Peace upon you, ministering angels, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.
Come in peace, messengers of peace, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.
Bless me with peace, messengers of peace, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.
May your departure be in peace, messengers of peace, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.
Melodies:
The slow well-known melody for the song was composed by the American Rabbi Israel Goldfarb in May, 1918 while sitting near the Alma Mater statue in front Low Memorial Libraryat Columbia University. Goldfarb's work is often presumed to be a traditional Hasidic melody. He wrote in 1963, "The popularity of the melody traveled not only throughout this country but throughout the world, so that many people came to believe that the song was handed down from Mt. Sinai by Moses."
Hebrew and Arabic mixed on medley (sholawat) by Kiai Kanjeng.
Property of Progress Yogyakarta, Indonesia.
http://www.padhangmbulan.com/
http://www.kiaikanjeng.com/
Shalom aleichem (or sholom aleichem) is a greeting version in Hebrew, literally meaning "Peace be upon you." The appropriate response is "Aleichem shalom," or "Upon you be peace."
This form of greeting was traditional among the Ashkenazi Jews communities of Eastern Europe. However, it is very similar to the Arabic-language greeting used by many Muslims throughout the world, assalamu alaikum. The Christian Maltese phrase, sliem ghalikom is cognate with both Arabic and Hebrew equivalents. The greeting is used in plural - so as to greet multiple people - even when greeting a lone individual. One religious explanation for this is that one greets both a body and a soul. But it ought to be noted that many plural Hebrew words are used in reference to something singular.
Shalom could be also interpreted as "The Peace": a peace personally felt, a deep calmness and mental balance, which is said to come to those who appreciate God.
Friday night Shabbat welcoming song.
Shalom Aleichem is also a traditional song sung Friday night at the beginning of Shabbat, the Jewish Sabbath. In this case the words are used to welcome in the angels who accompany a person home on the eve of the Sabbath. It can be sung with many different melodies, but it is always sung with great happiness and joy.
According to the Ashkenazi tradition, the song in Hebrew language transliteration is as follows:
Shalom aleichem malachei ha-shareis malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.
Bo'achem le-shalom malachei ha-shalom malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.
Barchuni le-shalom malachei ha-shalom malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.
Tzeis'chem le-shalom malachei ha-shalom malachei elyon, mi-melech malchei ha-melachim Ha-Kadosh Baruch Hu.
The words to the song translate:
Peace upon you, ministering angels, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.
Come in peace, messengers of peace, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.
Bless me with peace, messengers of peace, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.
May your departure be in peace, messengers of peace, messengers of the Most High, of the Supreme King of Kings, the Holy One, blessed be He.
Melodies:
The slow well-known melody for the song was composed by the American Rabbi Israel Goldfarb in May, 1918 while sitting near the Alma Mater statue in front Low Memorial Libraryat Columbia University. Goldfarb's work is often presumed to be a traditional Hasidic melody. He wrote in 1963, "The popularity of the melody traveled not only throughout this country but throughout the world, so that many people came to believe that the song was handed down from Mt. Sinai by Moses."
Saturday, April 11, 2009
Why do you seek the living one among the dead?
"Why look among the dead for someone who is alive? He is not here; he has risen. Remember what he told you when he was still in Galilee: that the Son of Man had to be handed over into the power of sinful men and be crucified, and rise again on the third day." (Luke 24,5-7)
Tuesday, April 7, 2009
Friday, March 6, 2009
Bhineka Tunggal Ika – Manguak keharmonisan dalam keberagaman di Indonesia
Konferensi yang berjudul Unity in Diversity: The Culture of Coexistence in Indonesia (Kesatuan dalam Keberagaman: Budaya Hidup Bersama di Indonesia) telah menampilkan Indonesia sebagai model hidup bersama secara harmonis dalam keragaman budaya dan agama.
Konferensi ini diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri Italia dalam kerjasama dengan Komunitas Sant’Egidio pada hari Rabo 4 Maret 2009 di Gedung Kementerian Luar Negeri Italia, Roma.
“Indonesia telah menjadi referensi untuk kehidupan bersama antar budaya dan agama dan dipandang sebagai jembatan antara Barat dan dunia Islam di Timur Jauh,” demikian ungkap Menlu Italia Franco Frattini saat membuka konferensi bersama dengan Menlu Indonesia Hassan Wirajuda.
Hadir sebagai pembicara dari Indonesia antara lain Ketua Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, Bactiar Effendi dan Azyumardi Azra, keduanya dari UIN Jakarta, Siti Musdah Mulia dari ICRP, Sekjen WALUBI Philip K. Wijaya dan Ketua KWI Mgr. Martinus D. Situmorang OFMCap. Sedang dari pihak Italia, tampil sebagai pembicara antara lain Andrea Riccardi, dosen sejarah kontemporer di Universitas Roma Tre dan pendiri Komunitas Sant’Egidio, dan Mgr. Vincenzo Paglia, Ketua Komisi Dialog dan Ekumenis Konferensi Para Uskup Italia.
Konferensi yang terbagi dalam dua sessi ini pertama membahas tema “Kristiani dan Islam untuk budaya hidup bersama”. Pada sessi kedua dibahas tema “Masyarakat Sipil, Islam dan Kehidupan bersama”
Frattini memuji usaha Indonesia sebagai negara multi kultural dan multi agama yang mendasarkan prinsip kenegaraannya pada Bhinekka Tunggal Ika. “Indonesia dalam sejarahnya telah menghasilkan model Islam yang khas, terbuka dan toleran, Islam alternatif, yang sangat dihargai dan pantas lebih dikenal di Barat,” lanjut Frattini.
Andrea Riccardi memandang Indonesia sebagai laboratorium hidup bersama. Pendiri Komunitas Sant’Egidio ini mengungkapkan perlunya visi untuk bisa membangun identitas diri di dunia yang makin majemuk ini. “Persis di hadapan tantangan global ini, Indonesia menawarkan visi peradaban hidup bersama di antara keberagaman,” tegas Riccardi.
Indonesia memiliki kekayaan keberagaman budaya dengan toleransi dan tradisi spiritualitas yang kuat. Islam di Indonesia sangat terkait dengan tradisi sufisme. Hidup bersama dalam kesatuan yang harmonis bukan berarti menanggalkan identitas iman, melainkan justru menuntut masing-masing semakin mendalam dalam identitas budaya dan agamanya. “Toleransi adalah bagian dari Islam,” demikian ungkap Hasyim Muzadi. “Konflik yang kadang muncul biasanya disebabkan oleh hal-hal yang pada dasarnya bukan langsung menyangkut agama atau iman,” tambah Muzadi.
Keberagaman budaya dan agama di Indonesia menjadi suatu kesempatan baik untuk membangun hidup bersama. Riccardi mengungkapkan bahwa mereka yang tergoda untuk menjadi puritan dan menginginkan homogen, sering kali bertindak demikian karena rasa ketakutan. Mengacu kepada Mahatma Gandhi, Riccardi menambahkan bahwa pembebasan yang sejati adalah tidak adanya rasa takut.
Mgr. Vincenzo Paglia mengungkapkan bahwa kesadaran baru setelah Konsili Vatikan II akan kesatuan rencana Allah untuk seluruh umat manusia menjadi landasan kuat bagi umat Katolik untuk menjunjung tinggi kehidupan bersama yang harmonis.
Sementara itu Mgr. Martinus Situmorang mengingatkan bahwa agama bisa menjadi pemersatu, namun juga bisa diperalat untuk memecah-belah masyarakat. Karenanya Situmorang mengingatkan bahwa “para pemimpin agama adalah kunci dalam usaha membangun kehidupan bersama yang harmonis di antara elemen masyarakat yang berbera-beda dan untuk memperkuat dialog antar mereka.” Ditambahkannya bahwa “ajaran para pemimpin agama harus diarahkan kepada nilai dan tujuan sejati dari agama-agama.” ***
Konferensi ini diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri Italia dalam kerjasama dengan Komunitas Sant’Egidio pada hari Rabo 4 Maret 2009 di Gedung Kementerian Luar Negeri Italia, Roma.
“Indonesia telah menjadi referensi untuk kehidupan bersama antar budaya dan agama dan dipandang sebagai jembatan antara Barat dan dunia Islam di Timur Jauh,” demikian ungkap Menlu Italia Franco Frattini saat membuka konferensi bersama dengan Menlu Indonesia Hassan Wirajuda.
Hadir sebagai pembicara dari Indonesia antara lain Ketua Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi, Bactiar Effendi dan Azyumardi Azra, keduanya dari UIN Jakarta, Siti Musdah Mulia dari ICRP, Sekjen WALUBI Philip K. Wijaya dan Ketua KWI Mgr. Martinus D. Situmorang OFMCap. Sedang dari pihak Italia, tampil sebagai pembicara antara lain Andrea Riccardi, dosen sejarah kontemporer di Universitas Roma Tre dan pendiri Komunitas Sant’Egidio, dan Mgr. Vincenzo Paglia, Ketua Komisi Dialog dan Ekumenis Konferensi Para Uskup Italia.
Konferensi yang terbagi dalam dua sessi ini pertama membahas tema “Kristiani dan Islam untuk budaya hidup bersama”. Pada sessi kedua dibahas tema “Masyarakat Sipil, Islam dan Kehidupan bersama”
Frattini memuji usaha Indonesia sebagai negara multi kultural dan multi agama yang mendasarkan prinsip kenegaraannya pada Bhinekka Tunggal Ika. “Indonesia dalam sejarahnya telah menghasilkan model Islam yang khas, terbuka dan toleran, Islam alternatif, yang sangat dihargai dan pantas lebih dikenal di Barat,” lanjut Frattini.
Andrea Riccardi memandang Indonesia sebagai laboratorium hidup bersama. Pendiri Komunitas Sant’Egidio ini mengungkapkan perlunya visi untuk bisa membangun identitas diri di dunia yang makin majemuk ini. “Persis di hadapan tantangan global ini, Indonesia menawarkan visi peradaban hidup bersama di antara keberagaman,” tegas Riccardi.
Indonesia memiliki kekayaan keberagaman budaya dengan toleransi dan tradisi spiritualitas yang kuat. Islam di Indonesia sangat terkait dengan tradisi sufisme. Hidup bersama dalam kesatuan yang harmonis bukan berarti menanggalkan identitas iman, melainkan justru menuntut masing-masing semakin mendalam dalam identitas budaya dan agamanya. “Toleransi adalah bagian dari Islam,” demikian ungkap Hasyim Muzadi. “Konflik yang kadang muncul biasanya disebabkan oleh hal-hal yang pada dasarnya bukan langsung menyangkut agama atau iman,” tambah Muzadi.
Keberagaman budaya dan agama di Indonesia menjadi suatu kesempatan baik untuk membangun hidup bersama. Riccardi mengungkapkan bahwa mereka yang tergoda untuk menjadi puritan dan menginginkan homogen, sering kali bertindak demikian karena rasa ketakutan. Mengacu kepada Mahatma Gandhi, Riccardi menambahkan bahwa pembebasan yang sejati adalah tidak adanya rasa takut.
Mgr. Vincenzo Paglia mengungkapkan bahwa kesadaran baru setelah Konsili Vatikan II akan kesatuan rencana Allah untuk seluruh umat manusia menjadi landasan kuat bagi umat Katolik untuk menjunjung tinggi kehidupan bersama yang harmonis.
Sementara itu Mgr. Martinus Situmorang mengingatkan bahwa agama bisa menjadi pemersatu, namun juga bisa diperalat untuk memecah-belah masyarakat. Karenanya Situmorang mengingatkan bahwa “para pemimpin agama adalah kunci dalam usaha membangun kehidupan bersama yang harmonis di antara elemen masyarakat yang berbera-beda dan untuk memperkuat dialog antar mereka.” Ditambahkannya bahwa “ajaran para pemimpin agama harus diarahkan kepada nilai dan tujuan sejati dari agama-agama.” ***
[Artikel ini secara lebih singkat dimuat dalam majalah HIDUP, 29 Maret 2009, hlm. 30]
Subscribe to:
Posts (Atom)